Pengin Nyari Buku - Buku Berkualitas ?

Rabu, 08 Agustus 2012

Menyoal Penilaian Kembali dan Deaksesi Arsip





Beberapa waktu yang lalu saya membaca Guidelines for Reappraisal and Deaccessioning (linknya klik disini) di situs The Society of American Archivists (SAA). Kalau kita terjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia kurang lebih artinya Panduan Penilaian Kembali (Arsip) dan Deaksesi Arsip. Barangkali di antara para arsiparis, akademisi, atau pegiat kearsipan baru kali ini mendengar istilah deaksesi arsip. Kalau istilah "penilaian arsip" barang kali kita sudah sering mendengar istilah ini, tetapi ternyata arti dari "penilaian arsip" dalam panduan ini berbeda dari istilah di negara kita. Di Indonesia, khususnya di instansi pemerintah istilah penilaian kembali lebih mengacu pada penilaian kembali arsip yang dinamis, bukan arsip statis. Ya iya lah, masak arsip statis dinilai kembali, kan ia sudah permanen alias sudah terpilih "masuk surga". Barangkali pembaca akan berargumen seperti saya karena selama ini ilmu yang kita dapatkan baik dari bangku kuliah maupun dari pendidikan dan pelatihan memang seperti itu. Akan tetapi di luar negeri, khususnya di Amerika, arsip statis yang disimpan di lembaga kearsipan nasional maupun swasta bisa dinilai kembali atau bahkan ditarik lagi ke unit penciptanya atau pendonornya. Kok bisa begitu ya.... Sebelum lebih lanjut membahas soal ini mari kita lihat definisi dari reappraisal dan deaccessioning berikut ini.


  1. Penilaian Kembali: (1) Konteks Arsip Statis --> Proses mengidentifikasi materi arsip statis yang tidak lagi dianggap layak untuk disimpan permanen (preservasi dan disiapkan untuk di-deaksesi. (2) Konteks Arsip Dinamis --> Proses meninjau kembali materi arsip dinamis untuk ditaksir ulang nilai guna retensinya

  2. Deaksesi: Proses yang dilakukan oleh lembaga kearsipan, museum, atau perpustakaan untuk menyingkirkan secara permanen terhadap materi yang diperolehnya dari khasanah yang dimilikinya.


  3. Dari dua terminologi kearsipan di atas, istilah deaksesi dan penilaian kembali arsip point pertama tampaknya terdengar asing di telinga kita. Wacana deaksesi arsip sebenarnya sudah mengemuka sejak beberapa tahun silam di Amerika, khususnya ketika Leonard Rapport menulis suatu artikel yang berjudul "No Grandfather Clause: Reappraising Accessioned Records" yang dipresentasikan pada pertemuan tahunan the Society of American Archivists (SAA) tahun 1981. Rapport berpendapat bahwa arsiparis perlu melakukan penilaian kembali arsip dan deaksesi arsip. Ia memberi contoh koleksi tentang Dewan Pengaturan Upah pada Perang Dunia II yang semula pada tahun 1946 jumlah arsipnya mencapai 700 meter lari, terus berkurang menjadi 175 meter lari setelah dilakukan penilaian. Akan tetapi, ketika dinilai kembali pada tahun 1974, koleksinya berkurang menjadi 24 meter lari, artinya ada penghematan 676 meter lari terhadap tempat simpan. Rapport berpendapat bahwa arsiparis perlu meninjau ulang koleksinya terhadap materi yang sudah tidak relevan lagi. Menurutnya, penilaian kembali arsip yang selanjutnya mengakibatkan deaksesi arsip yang dianggap tidak bernilai guna akan menguntungkan lembaga kearsipan karena menghemat tempat simpan, preservasi, dan sumber daya manusianya (Benedict, 1984:44). Rapport percaya bahwa setiap lembaga kearsipan paling tidak menyimpan arsip yang seharusnya tidak disimpan dan diolah pada waktu akuisisinya (Benedict, 1984:44).

    Sebenarnya, Rapport tahu bahwa arsiparis perlu mengidentifikasi arsip-arsip dinamis yang bernilai guna kebuktian dan informasional sebagaimana yang disarankan oleh Schellenberg, namun Rapport tidak setuju pendapat Schellenberg bahwa setiap catatan tertulis (baca:arsip dinamis) milik pejabat pemerintah wajib dipertahankan /disimpan (Rapport, 1981:147).

    Selain Rapport, pemicu munculnya wacara deaksesi dan penilaian kembali adalah artikelnya Karen Benedict yang berjudul "Invitation to a Bonafire: Reappraisal and Deaccessioning of Records as Collection Management Tools in an Archives - A Reply to Leonard Rapport" tahun 1984. Artikel ini merupakan counter atas pendapat Rapport sebelumnya. Secara umum, Benedict tidak setuju dengan pendapat Rapport terkait dengan perlunya deaksesi koleksi, namun Benedict membuat penilaian yang realistis tentang prioritas kearsipan dan problem anggaran (baca; keuangan/pendanaan) yang banyak dihadapi oleh lembaga kearsipan atau unit kearsipan ketika Ia mengomentari bahwa arsiparis tidak secara reguler melakukan penilaian kembali khasanah arsipnya, atau bahkan menyelesaikan pengolahan arsip yang belum diolah, karena masalah biaya (1984:45). Menurut Benedict, lembaga kearsipan perlu segera menyelesaikan pengolahan arsip-arsip yang belum diolah sebelum menyingkirkan arsip-arsip yang tidak dibutuhkan lagi . Benedict menentang pendapat Rapport tentang metodologi penyiangan (weeding) arsip dinamis. Menurutnya, akan sangat berbahaya bila seorang arsiparis mencoba menyingkirkan arsip sedikit demi sedikit layaknya menyiangi bahan pustaka.

    Kesimpulan

    SAA sebagai wadah para praktisi, akademisi, dan pemikir bidang kearsipan tingkat dunia berusaha mewadahi pendapat tentang penilaian kembali arsip dan deaksesi arsip. Oleh karena itu, Panduan Penialain Kembali dan Deaksesi Arsip ini merupakan pegangan bagi lembaga kearsipan yang akan melakukan deaksesi arsip. Bagi kita di Indonesia barangkali sampai saat ini belum mengalami pengalaman hal serupa seperti di negara - negara Barat tapi Panduan ini sangat berguna bagi kita sebagai wawasan dan bahan kajian di kemudian hari.Rencana stretegis terhadap Penilaian Kembali dan Deaksesi memang dibutuhkan untuk menghindari kemungkinan reaksi negatif dari berbagai pengalokasi sumberdaya, institusi mitra, donor, penelitim dan kolega. Akan tetapi, sebenarnya Penilaian Kembali dan Deaksesi merupakan gagasan yang kontroversial karena archives, baik dalam arti arsip statis maupun lembaga kearsipan merupakan simbol keabadian (permanence), dan arsiparis melihat dirinya sebagai penjaga masa lalu yang independen atau tidak memihak (impartial guardians of the past).

    Bacaan:


    1. A Glossary of Archival and Records Terminology

    2. Benedict, K. (1984). Invitation to a Bonafire: Reappraisal and Deaccessioning of Records as Collection Management Tools in an Archives - A Reply to Leonard Rapport. The American Archivist, 47 (1), 43-49

    3. Greene, M.A. (2006). I've Deaccessioned and Lived to Tell About It: Confessions of an Unrepentant Reappraiser. Archival Issues, 30 (1), 7-22

    4. Gross, James. 2009. Reappraisal and Deaccessioning: A Review of Articles by Karen Benedict, Mark Greene, and Leonard Rapport

    5. Rapport, L. (1981). No Grandfather Clause: Reappraising Accessioned Records. The American Archivist, 44 (2), 143-150.

ABOUT

Blog ini mengkhususkan diri berbagi informasi tentang kearsipan, baik dari segi ilmu maupun praktik. Minimnya referensi kearsipan di negara kita, khususnya dalam bentuk buku teks, mendorong saya untuk membuat blog ini dengan harapan semoga dapat melengkapi pengetahuan tentang kearsipan dari sisi yang berbeda. Kritik dan saran dapat disampaikan kepada saya untuk memperbaiki konten blog ini.

Archive IT !

ARCHIVE IT SEDANG DALAM PROSES PEMBUATAN

Biblio(g)Archivy

NONE
atau
BELUM ADA ISI

Dictionary

Librarchive Blog


  1. Layanan Jurnal Ilmiah Online
  2. New Librarianship
  3. 5000 Buku Gratis !
  4. Jurusan Kearsipan UGM
  5. Perpustakaan UGM
  6. Perpustakaan UIN Sunan Kalijaga
  7. Prodi Teknisi Perpustakaan UNAIR
  8. Ilmu Komputer
  9. 1001buku
  10. ALA Weblog
  11. ALMAIPII Yogya
  12. APISI
  13. Arie Nugraha
  14. Barudak TPDers
  15. Beranda Buku
  16. Filipino Librarian
  17. Freedom-institute Lib
  18. Google Book Search
  19. Google Librarian Central
  20. Hendro Wicaksono
  21. pustakawan2020
  22. i:boekoe
  23. IFLA SL Blog
  24. Information Literacy Weblog
  25. Information Research
  26. IPI Blog van Putu
  27. Ismail Fahmi
  28. KALI-Blogspot
  29. KALI-Hartonno
  30. Kangbudhi’s Weblog
  31. Kepustakawanan
  32. Komunitas KALI
  33. Labibah Zain
  34. LibrarianNet
  35. Librarything
  36. LOC Blog
  37. Mediarent
  38. Nove Hartanto
  39. Perca
  40. Podjok Perpoes
  41. Purwoko's Blog: Jurusan Geologi UGM
  42. Pusdokinfo N`Letter
  43. Pustaka-fwi
  44. Putu Pendit
  45. Putu`s Knowledge Management
  46. Tanzil
  47. The Dewey Blog
  48. The Shifted Librarian

Kedudukan Ilmu Kearsipan dalam Ilmu Perpustakaan dan Informasi (IP&I)



Bagi mahasiswa kearsipan, khususnya yang jenjang pendidikannya DIII tentu pernah bertanya - tanya  atau mencari jawaban mengapa tidak ada Program Strata 1 (S1) Kearsipan sehingga tidak jarang para mahasiswa D3 Kearsipan yang akan meneruskan jenjang S1 akan memilih berbagai macam jurusan seperti Administrasi Negara, Hukum, Teknologi Informasi, Ilmu Perpustakaan dan Informasi (IP&I),dll. Dari beberapa pilihan jurusan tersebut, jurusan IP&I adalah jurusan yang paling banyak terkait dengan kearsipan. Secara historis, jurusan IP&I memasukkan ilmu arsip (archival science) di dalamnya.  Pertanyaan selanjutnya pun akan muncul, pertama; Mengapa IP&I tidak menambah embel-embel "Kearsipan" sehingga menjadi Jurusan Ilmu Perpustakaan, Kearsipan dan Informasi? padahal di dalamnya juga ada konsentrasi Kearsipannya juga; yang Kedua, Mengapa tidak ada Jurusan Kearsipan yang otonom berdiri sendiri tidak digabung dengan IP&I? Secara pribadi sejak tahun 2004 saya pernah mencari jawaban atas  pertanyaan yang "mengganggu" ini, sampai akhirnya saya menemukan milist ICS yang sering berdiskusi tentang ilmu perpustakaan dan informasi, termasuk di dalamnya kearsipan, meskipun kalau saya lihat di sana lebih banyak yang bergelut dalam bidang perpustakaan daripada kearsipannya. Salah satu anggota milist yang aktif melahirkan gagasan-gagasan yang smart adalah beliau Pak Putu, lengkapnya Putu Laxman Pendit. Melalui jalur pribadi, saya sering bertanya kepada beliau tentang kedudukan Kearsipan di dalam IP&I. Dari 2 pertanyaan di atas, pertanyaan yang pertamalah yang akan dibahas dalam tulisan ini, sementara pertanyaan yang kedua belum kita bahas secara mendalam dan ini sebenarnya PR kita bersama. Namun demikian, penjelasan atas pertanyaan pertama ini juga sedikit memberi jawaban atas pertanyaan kedua. Akhir Mei 2012, Pak Putu mengangkat topik "Mengapa Tidak Ada 'dan Kearsipan' dalam IP&I" lewat milist ICS. Jadi apa yang akan saya tulis merupakan copy paste dari hasil postingan beliau di milist tersebut. Berikut adalah penjelasannya.


BAGIAN PERTAMA

Rekan-rekan,

Melalui jalur-pribadi, beberapa orang pernah bertanya kenapa tak ada kata "Kearsipan" dalam judul ilmu yang selama ini kita bicarakan. Salah satu yang bertanya dengan gigih adalah Rekan Prayiet El Akhtar (begitu namanya tertulis, mudah-mudahan saya tidak salah) dan saya harus minta maaf karena tak dapat sesegara menjawab setiap ia bertanya.

Tadinya saya berharap ada orang lain yang dapat menjelaskan hal ini secara terbuka di Indonesia, tetapi ternyata juga tak ada. Sangat mungkin karena saya yang selama ini tak pernah membaca penjelasan tuntas tentang itu. Kalau memang sudah ada penjelasan tentang hal ini, saya mohon penjelasan saya tidak dibenturkan dengannya, sebelum saya juga membacanya.

Izinkan saya berbagi pengetahuan, yang tentu amat terbatas, tentang Kearsipan atau "ilmu arsip" ini. Seperti biasanya, saya juga perlu mengingatkan bahwa sebenarnya amat banyak ada bacaan tentang hal ini, beberapa di antaranya tersedia di Internet, dan yang paling umum adalah di wikipedia, yaitu di:


Sumber ini adalah sumber terbuka, dan seperti sebelumnya saya menganjurkan agar kita tidak mengandalkan sumber itu saja.

Sumber lain yang lebih "serius" dan dapat dilacak pengutipannya adalah ini:


Salah satu inisiatif yang melibatkan banyak negara yang sangat aktif mendukung Ilmu Kearsipan adalah The International Institute for
Archival Science of Trieste and Maribor
, dapat dilihat di sini:


Beberapa penjelasan ada dalam bentuk buku yang tentu harus dibeli,yaitu:



Saya tak punya kapasitas yang sama dengan sumber-sumber di atas,sehingga silahkan Rekan-Rekan membacanya sendiri dan membandingkan dengan penjelasan saya di posting ini. Dua hal utama yang menjadi landasan penjelasan saya adalah (1) pengalaman saya ketika diajak Prof.Sulistyo-Basuki merancang dan menjalankan program Pascasarjana tahun 1990an yang silam, dan (2) pehamaman saya tentang filsafat kepustakawanan dan filsafat IP&I -yang tidak pakai "dan Kearsipan" itu. Maka tentu saja sejak awal harus saya ingatkan bahwa penjelasan ini "biased" alias cenderung menggiring Anda ke IP&I -yang tidak pakai "dan Kearsipan" itu. Saya mohon maaf sebelumnya atas kecenderungan ini dan silahkan tak mengikuti "giringan" yang disengaja ini jika Anda tak mau.

Setelah basa-basi di atas, izinkan saya memulai pembahasan.

Di suatu masa saya pernah terlibat dalam sebuah pertemuan untuk memutuskan nama program studi yang amat panjang, yaitu Program Studi Ilmu Perpustakaan, Kearsipan, Dokumentasi, dan Informasi. Maaf kalau ingatan saya terbatas, tetapi secara umum dapat saya katakan bahwa saat itu memang ada keinginan untuk memasukkan semua fenomena yang melibatkan proses penyimpanan dan penemuan kembali pengetahuan terekam
(recorded knowledge) ke dalam satu wadah ilmu. Beberapa tahun sebelum itu, bersama dengan Prof. Sulistyo-Basuki dan Almarhum Doktor Karmidi, saya juga pernah terlibat dalam upaya merumuskan Ilmu Perpustakaan (tanpa embel-embel "dan Informasi" maupun lainnya -seolah sedang memurnikan institusi perpustakaan). Dalam masa yang hampir sama, saya juga pernah diajak Departemen P&K (sekarang menjadi Kemdikbud)-sekali lagi bersama Prof. Sulistyo-Basuki- menyusun kurikulum inti Ilmu Perpustakaan, bersama teman-teman dari Ilmu Filsafat yang dianggap satu "rumpun".

Dari ketiga pengalaman tersebut, ada beberapa hal yang dapat saya simpulkan sebagai landasan pemikiran saya, yaitu:

  1. Ada kecenderungan amat kuat untuk berkonsentrasi pada aspek proses kerja sehingga muncul perhatian yang khusus terhadap jenis-jenis teknik dan kegiatan pengolahan yang melibatkan rekaman pengetahuan berdasarkan ciri-ciri pembedanya. Itu sebabnya, "pustaka" dilihat sebagai berbeda dari "arsip", atau "rekod", atau"dokumen". Pembedaannya seringkali dalam bentuk fisik atau teknologinya.

  1. Orientasi utama yang sejalan dengan kecenderungan di atas adalah penciptaan pekerja profesional untuk menangani jenis-jenis rekaman yang spesifik tersebut. Hal ini semakin diperkuat oleh kepentingan kebutuhan tenaga dari tiga lembaga besar di Indonesia, yaitu Perpustakaan Nasional, Arsip Nasional, dan Pusat Dokumentasi
    & Informasi Ilmiah LIPI.

  1. Ada pengaruh amat kentara dari sistem bantuan pendidikan perguruan tinggi yang diterima Indonesia pada masa Orde Baru. Bantuan dari Amerika Serikat cenderung menonjolkan "perpustakaan" sebagai bagian dari kampanye mereka tentang demokrasi, bantuan dari Belanda cenderung mendorong kearsipan dan preservasi sebagai "tanggungjawab historis" negeri yang pernah menjajah kita itu, bantuan dari negara-negara Eropa lainnya (kecuali Belanda yang sudah disebut khusus) cenderung membuka wawasan tentang dokumentasi, khususnya yang dikaitkan dengan pandangan-pandangan Paul Otlet dan Suzana Briet (disebut juga sebagai "Madame Documentation") yang berasal dari Perancis itu. Belakangan juga muncul bantuan dari Australia yang membujuk kita untuk memperhatikan rekod (record) sebagai bagian dari "good governance" baik untuk Pemerintahan maupun kepatutan bisnis swasta. Saya tak tahu apakah ada bantuan dari Arab Saudi, Republik Rakyat Cina, Jepang, eks Uni Soviet, atau negara-negara lain. Maaf kalau mereka terluput.

  1. Ada masa ketika gelombang teknologi, khususnya teknologi perekaman digital dan administrasi perkantoran/bisnis, mendorong para ilmuwan maupun "ilmuwan" memopulerkan "record management" sebagai bagian yang katanya tak terpisahkan dari "knowledge management".
    Beberapa perusahaan pengimpor alat-alat berbantuan komputer mengadakan seminar-seminar di berbagai kota untuk mendorong perhatian kita ke mesin-mesin pengarsipan dan dokumentasi.



Menarik untuk dicatat, bahwa di antara semua "aliran" dan pemikiran di atas, kata "informasi" seolah lesap. Tak ada yang ingin menyoal apakah sesungguhnya yang dimaksud dengan informasi. Paling-paling para ahli (atau yang mengaku ahli) di bidang-bidang itu akan mengatakan bahwa informasi adalah "isi" (content) tanpa pernah dapat menjelaskan lebih jauh, apa sesungguhnya isi tersebut. Tentang hal ini pernah saya singgung. Jadi tak akan saya ulangi.

Nah, sewaktu pada tahun 1990an kami mencoba menyusun kurikulum untuk program studi bernama panjang di Depok itu, salah satu persoalan utamanya adalah menemukan landasan ilmiah bagi penyebutan kearsipan dan dokumentasi. Namun harus saya sampaikan di sini bahwa persoalan ini tak pernah terselesaikan, sebab dikalahkan oleh desakan yang dianggap paling penting waktu itu, yakni: menghasilkan lulusan yang "siap pakai" di bidang-bidang tersebut di atas. Pandangan bahwa sekolah bertujuan menghasilkan pekerja siap pakai, amatlah kuat waktu itu (dan mungkin juga sampai sekarang). Pertimbangan tentang keterampilan teknis mengelola arsip, rekod, atau dokumen menjadi pertimbangan utama. Itu sebabnya kurikulum dijejali oleh ajaran tentang tata-kerja, cara penggunaan alat kerja (khususnya yang berbantuan komputer), dan standar atau manual kerja. Kalaupun ada pembahasan tentang hakikat dan konteks, maka yang digunakan adalah materi berupa pengalaman kerja parapengajar.

Sejauh kurikulum itu dirancang untuk memenuhi tuntutan lapangan kerja, nampaknya tak ada persoalan. Mahasiswa puas, para penyewa profesi puas, dan dosen pun puas. Persoalan baru muncul ketika ada persyaratan akademik (mohon ingat, saya bicara tenang program studi pascasarjana) bahwa para mahasiswa S2 harus membuat tesis, dan tesis ini harus berlandaskan penelitian. Waduh.. pikir saya waktu itu... bagaimana membedakan penelitian ilmu perpustakaan dari ilmu kearsipan dan ilmu dokumentasi (dan ilmu informasi)? Bagaimana dengan metodologinya? Bagaimana dengan teori-teorinya?

Sekali lagi, "waduh" ini segera terdengar "kontra-produktif" jika dihadapkan dengan "tuntutan pasar lapangan kerja". Secara implisit muncul desakan, kira-kira seperti ini: ya, sudahlah, tinggal ganti saja objek penelitiannya dari "pustaka" (buku) menjadi arsip, rekod, atau dokumen. Gitu aja kok repot. Maka jadilah akhirnya saya pernah membimbing beberapa mahasiswa pasca sarjana; yang satu meneliti perpustakaan, yang satu meneliti kearsipan, yang satu meneliti dokumentasi, tetapi ketiganya menggunakan teori perilaku informasi. Beres!! Metodenya sama, persoalan dan kasusnya sama, tempatnya sama. Yang berbeda cuma tampang mahasiswanya, ada yang kusut, ada yang murung, dan ada yang bengong.. he he he.

Sambil membimbing mahasiswa-mahasiswi kusut-murung-bengong itu, kami --para pengajar yang peduli (sebab ada juga yang tidak..kekekeke)-- mulai berpikir (sebab kami digaji untuk berpikir): sebenarnya apa perbedaan utama dari perpustakaan, kearsipan, dan dokumentasi SELAIN perbedaan objek material dan teknik-proseduralnya? Dengan sok keren, beberapa di antara kami mulai mengusut asal muasal ketiganya, dan secara sok ilmiah kami pun membicangkan epistemologi ketiganya. Sesungguhnyalah beberapa dosen itu sok, selain mengalami shock! --untungnya tidak stroke!

Pengusutan epistemologi bersama beberapa kawan dalam negeri dan luar negeri itulah yang membawa saya ke kesimpulan-kesimpulan berikut ini:

  1. Dari segi sejarah kelahiran dan hakikatnya maka terdapat rentang-kaitan yang bermula dari tulisan alias teks. Temuan-temuan arkeologi di lembah Sungai Tigris (sekarang Turki) membuktikan bahwa 3000 tahun sebelum Masehi (atau 5000 tahun sebelum hari ini) bangsa Sumeria melakukan tindakan pertama menggunakan tulisan untuk mencatat apa-apa saja yang mereka lakukan dalam hidup mereka. Ini adalah
    tindakan pertama umat manusia untuk menciptakan rekaman alias "record" dan tindakan inilah yang ditiru oleh Assiria, lalu Yunani, lalu Romawi, lalu kerajaan-kerajaan Kristen di Eropa, dan Islam di Jazirah Arab, lalu juga terjadi di Asia Timur dan Amerika Latin, terus bertahan sebagai ciri-khas peradaban manusia sampai sekarang. Secara ilmiah (sekali lagi melalui kelapangan pikiran para arkeolog) juga dapat
    dibuktikan bahwa rekaman-rekaman pertama yang dilakukan oleh umat manusia adalah rekaman tentang transaksi dan kondisi sosial di suatu masa. Rekaman bangsa Sumeria itu ditulis di tanah liat dalam bentuk sabak ("tablet", yang sekarang biasa disebut iPad.. hehehe), berisi catatan tentang panen, barter, musim, jumlah penduduk, silsilah, dan yang semacamnya. Rekaman ini tidak hanya untuk catatan kehidupan,
    tetapi juga disimpan dengan tata-aturan tertentu. Dengan kata lain, ada satu kondisi yang pasti (niscaya) dalam semua peradaban, yaitu : menulis dan merekam kehidupan. Dengan kata lain pula, yang pertama muncul adalah tulisan, dan setelah itu rekaman, dan lalu arsip (rekaman yang ditata dan disengaja)!

  1. Mengapa bangsa Sumeria yang belum beragama itu (waktu itu Yahudi, Kristen, Islam, Hindu, Buddha belum ada) merasa perlu merekam kehidupan mereka, khususnya kehidupan yang menyangkut interaksi mereka dengan alam (catatan panen, musim, terbit-tenggelamnya matahari) dan sesama manusia (barter hasil panen, siapa bapaknya siapa, siapa kawin sama siapa)? Mengapaaaaa...? [ini adalah kata tanya yang paling sering
    diajukan seorang ilmuwan]. Berhubung bangsa Sumeria sudah punah, maka kita tak bisa bertanya kepada mereka. Jawaban yang dapat dikarang oleh para arkeolog berdasarkan logika dan pertimbangan empirik (bukti-bukti tertulis maupun bentuk sisa-sisa bangunan) adalah: rekaman atau arsip itu dibuat untuk menata kehidupan bermasyarakat, sebagai bagian dari tata-aturan alias hukum. Dengan kata lain, urut-urutannya adalah sebagai berikut: tulisan --> rekaman --> arsip -->
    tata-aturan bermasyarakat --> hukum (sehari-hari).

  1. Bayangkanlah saudara-saudaraku sebangsa dan setanah air, orang-orang Sumeria melakukan kebiasaan awal itu secara turun-temurun selama 2000 tahun (usia manusia cuma rata-rata 70 tahun). Tak mengherankan jika kebiasaan itu bertahan dan ditiru oleh bangsa-bangsa berikutnya, termasuk oleh kerajaan-kerajaan berbasis agama, termasuk oleh negara-negara moderen, dan akhirnya sampai sekarang. Kebiasaan ini
    mulai dilakukan SEBELUM manusia menciptakan "codex" -nenek moyangnya buku, dan tentu saja jauuuuuuuuh.. sebelum orang menemukan komputer atau iPad yang akhirnya kita gunakan untuk melakukan hal yang PERSIS SAMA dengan yang dilakukan orang-orang Sumeria itu, yakni mencatat dan merekam.

  1. Kapan "codex" dan kebiasaan menulis buku lahir? Ribuan tahun setelah kebiasaan mengarsip. Sekali lagi para arkeolog membantu kita menemukan bukti-bukti bahwa setelah kebiasaan menulis dan menyimpan arsip, muncul kebiasaan menulis di atas gulungan (roll), lalu codex (lembaran), dan akhirnya buku (kertas). Ini kebiasaan yang universal, terjadi di segala penjuru dunia pada waktu yang hampir bersamaan. Sekali lagi muncul pertanyaan: mengapaaaaa..? Mengapa manusia tak cukup puas dengan menulis untuk arsip dan hukum. Inilah jawaban singkatnya: sebab arsip hanya merekam transaksi, hanya cocok untuk mengingatkan, sehingga memang berfungsi sebagai bagian dari tata-aturan yang spesifik pula. Inilah jawaban panjangnya: Umat manusia memerlukan suatu cara yang lebih dari sekadar merekam transaksi dan kesepakatan, sebab manusia perlu merekam pikiran yang lebih luas daripada sekadar transaksi, perlu mencatat hal-hal yang lebih dari sekadar kesehari-harian, dan --ini yang paling penting-- sebab manusia mulai memikirkan hal-hal di LUAR KEHIDUPAN secara abstrak. Dengan kata lain, urut-urutannya adalah sebagai berikut:


tulis > rekam > arsip > tata-aturan sehari-hari
--------------> tata-aturan lebih luas > codex
> buku > pemikiran abstrak
  1. Hal penting lain yang perlu disimak adalah kenyataan bahwa teknologi codex muncul bersamaan dengan kemunculan agama-agama monotheisme (bertuhan satu) yang memerlukan wahana untuk menyebar secara luas, konsisten, dan berdisiplin. Tanpa codex (dan kemudian buku), sulit bagi agama-agama itu untuk tersebar dan ditegakkan atau ditaati secara konsisten. Sejarah mencatat, buku menemukan nilai utama dan mulianya lewat agama. Pada saat bersamaan muncul kebiasaan manusia untuk memikirkan semua aspek kehidupan, menemukan jawaban dan solusi. Mungkin Rekan-Rekan semua sudah paham, bahwa kebiasaan memikirkan dan mencari solusi ini akhirnya kita namakan "ilmu pengetahuan". Jadi, ada kaitan amat erat antara buku, pikiran abstrak, dan agama. Dari segi ilmiah (sekali lagi, mohon posting ini dibaca sebagai tulisan ilmiah, bukan tulisan religus. Please!) maka buku, ilmu, dan agama adalah fenomena yang berbasis sama dengan fenomena pengarsipan, yaitu teks (tulisan). Kita dapat membuat skema sederhana seperti ini:

    tulis > rekam > arsip > tata-aturan sehari-hari
    ------------> tata-aturan lebih luas > codex
    > buku > pemikiran abstrak.------------> religi
    ------------->
    pengetahuan

  1. Dari skema di atas, kita dapat mencoba memahami, mengapa secara universal lebih menonjol Ilmu Perpustakaan dibandingkan Ilmu Kearsipan. Secara ontologis (hakikat dari apa yang dipelajari), sebenarnya kedua ilmu ini mempelajari rekaman berdasarkan peradaban tulisan atau teks (dari kata "textere"). [mohon ingat, gambar atau video juga "tulisan" dalam konteks rekaman ini, sebab gambar atau video juga merupakan "jalinan pikiran" atau textere]. Namun secara epistemologis (bagaimana kebenaran ilmiah ditemukan) kedua ilmu ini mengalami perlakuan berbeda, karena hakikat arsip dan buku memiliki pengaruh yang amat berbeda di masyarakat, dan buku dianggap lebih unggul untuk hal-hal yang amat mendasar selain amat meluas, yaitu religi dan ilmu. Kedua hal mendasar ini kemudian akan memengaruhi hal mendasar berikutnya yang menjadi sendi utama semua negara moderen, yaitu politik. Tetapi jalan pikiran ini belum dapat dipakai untuk menjawab secara tuntas kenapa ada Ilmu PERPUSTAKAAN, dan bukan Ilmu Pustaka atau Ilmu Buku. Saya perlu melanjutkan ke point berikutnya.

  1. Sejalan dengan semakin pentingnya pemikiran abstrak dalam kehidupan manusia, maka jenis pemikiran yang dibukukan pun semakin banyak. Kita tahu bahwa sejak kelahiran buku, dan khususnya lagi sejak muncul mesin cetak (pertama di Cina dan Korea, kemudian di Jerman), buku tak hanya berisi ajaran agama dan pemikiran pengetahuan, tetapi juga sastra. Setelah itu muncul media massa dan segala bentuk ekspresi manusia pun akhirnya direkam, dibukukan, dan disebarkan. Selain fenomena yang nampaknya baru "meledak" setelah ada mesin cetak itu, sebenarnya sudah ada kebiasaan lain yang sering luput dari perhatian para pengamat perbukuan dan media massa kontemporer, yaitu kebiasaan MENYIMPAN yang pada hakikatnya juga merupakan kelanjutan alamiah dari kebiasaan merekam catatan yang dilakukan bangsa Sumeria 5000 tahun silam itu. Sejak tulisan diciptakan manusia, sejak itu pula muncul persoalan dan solusi dalam menyimpan tulisan. Dengan kata lain, kita kini dapat membuat skema yang lebih kompleks melibatkan sebuah kebiasaan spesifik berupa tata-cara penyimpanan, sebagai berikut:


tulis > rekam > arsip > ...... |SIMPAN|
tata-aturan sehari-hari
--------------> codex > buku > |SIMPAN| religi,pengetahuan, sastra

Tentu saja, manusia menyimpan sesuatu karena sesuatu itu dianggap penting dan sesuatu itu dapat ditemukan (mana ada orang menyimpan sesuatu supaya tidak bisa ditemukan kembali; itu namanya "menyembunyikan") agar dapat digunakan kembali, dmaka skemanya semakin rumit:

tulis > rekam > arsip > ......
|SIMPAN||TEMU|GUNAKAN|< ketertiban sehari-hari

--------------> codex > buku >
|SIMPAN||TEMU|GUNAKAN|< kehidupan yang lebih luas


Perlu kiranya sekali lagi saya tegaskan bahwa semua kegiatan di atas didasarkan pada teks dan dalam KON-teks interaksi sosial (hubungan antar-manusia). Sejak zaman Sumeria sampai sekarang, semua kegiatan di atas adalah dalam konteks interaksi sosial. Sampai kapanpun, keadaan ini akan terus berlanjut, terlepas dari jenis alat rekamannya. Perpustakaan dalam pengertian sempit adalah institusi yang sama saja dengan institusi kantor arsip. Namun, sekali lagi karena pertimbangan pengaruhnya pada kehidupan yang diasumsikan lebih luas dari sekadar tertib-administrasi, maka institusi perpustakaan mendapat perhatian yang lebih besar dan melahirkan pemikiran filosofis maupun ilmiah yang lebih banyak, katimbang yang diberikan terhadap kantor-kantor arsip

Point ke-7 di atas menyudahi argumen saya tentang mengapa secara epistemologis Ilmu Perpustakaan seolah-olah mendapatkan lebih banyak legitimasi daripada Ilmu Kearsipan. Namun tentu saja argumen ini amat lemah, karena hanya didukung oleh pemahaman tentang hakikat dari keduanya dilihat dari segi sejarah. Situs yang saya kutip di atas, yaitu The International Institute for Archival Science of Trieste and Maribor, justru akan membantah argumen saya, sebab di sana justru dibuktikan bahwa arsip amat penting (bahkan paling penting) dalam kehidupan moderen, termasuk dalam kehidupan politik sebagaimana ketika arsip dijadikan landasan bagi "good governance" dan demokratisasi.

Saya perlu mengulas hal ini lebih jauh di posting berikutnya. Mudah-mudahan posting ini telah menjelaskan argumen-argumen dasarnya terlebih dahulu, sebelum dilanjutkan dengan diskusi yang lebih rinci tentang perbedaan Ilmu Perpustakaan dan Ilmu Kearsipan. Saya juga belum sempat menyentuh Ilmu Dokumentasi (jika ini juga akan disebut ilmu). Namun ada satu "ikatan" yang akan saya terus gunakan dalam membahas ketiganya, yaitu bahwa yang dipelajari oleh ilmu-ilmu ini adalah interaksi sosial, bukan teknik dan tata-cara kerja institusi.

BAGIAN KEDUA

Jika kita perhatikan baik-baik, kalau perlu sambil menghela nafas panjang dan melepaskannya perlahan-lahan, maka "buku", "arsip", "dokumen", dan "berkas komputer" (computer files) saat ini memiliki kesamaan yang khas. Mereka semua adalah "sesuatu yang mengandung sesuatu yang berupa sesuatu yang mewakili sesuatu". Jadi memang "sesuatu sekaleee.." kalau kata anak muda zaman sekarang yang sangat dipengaruhi televisi dan sinetron itu :-)

Mari kita urai sejenak 4 (empat) "sesuatu" itu:

  1. Wadah, atau wahana, atau media

  1. Teks atau segala bentuk rangkaian lainnya

  1. Pernyataan

  1. Maksud, pemikiran, gagasan, realita


Jadi, dengan menggunakan empat "sesuatu itu", kita dapat menyimpulkan bahwa baik buku, arsip, dokumen, maupun berkas komputer adalah "wadah yang mengandung teks berupa pernyataan yang mewakili maksud, pemikiran, gagasan, atau realita tertentu". Kalau mau diperluas, definisi ini juga bisa digunakan untuk menguraikan sesuatu-koran, sesuatu-iPad, sesuatu-satelit, sesuatu-telepon-seluler .... Pokoknya sesuatu sekali! [sekali lagi, "teks" di sini tak harus tulisan, melainkan segala jalinan simbol atau "textere", jadi dapat juga berupa foto, video, dan sebagainya].

Sekarang, kembali ke persoalan kita yang belum tuntas: mengapa tak ada "dan Kearsipan" dalam IP&I? Kita dapat kembali ke definisi umum tentang keempat unsur di atas, dan membahas terlebih dahulu kesamaan antara buku, arsip, dan dokumen (saya batasi tiga ini saja dulu, supaya diskusi nggak ngalor-ngidul). Seharusnya, jika memang ketiga sesuatu ini adalah sesuatu yang sama, mengapa tak menjadi Ilmu Sesuatu saja? Atau mengapa tidak menjadi Ilmu Wadah Yang Mengandung Teks Berupa Pernyataan yang Mewakili Maksud, Pemikiran, Gagasan, atau Realitas Tertentu -- disingkat menjadi IWMTBPMMPGRT?

Mustahil akan ada ilmu seperti itu, kan?

Mari kita coba pendekatan lain. Baik buku, arsip, maupun dokumen menjadi pusat perhatian kita karena kita harus menyimpannya untuk ditemukan kembali ketika diperlukan. Dalam istilah kita, inilah yang disebut simpan (store) dan temukan-kembali (retrieve), dan ketika menjadi sistem kebendaan yang dilengkapi teknik tertentu, ia disebut "storage and retrieval system".

Jika memang buku, arsip, dan dokumen sama-sama merupakan SESUATU yang sama, dan jika hal yang paling penting dalam kaitannya dengan sesuatu itu adalah "storage and retrieval", mengapa tidak ada Storage and Retrieval Science atau Ilmu Simpan dan Temukan-Kembali?

Mengapa justru namanya Ilmu Perpustakaan dan Informasi? M e n g a p a ...aaaa ... aaaa. aaaaa?

Dan mengapa tidak ada "dan Kearsipan"-nya? M e n g a p a ...aaaa ... aaaa. aaaaa?

Pertanyaan-pertanyaan yang mungkin terdengar konyol ini sebenarnya memberi peluang bagi kita untuk kembali menjelaskan, apa sebenarnya yang kita maksud dengan IP&I. Dari pembahasan di atas yang tampaknya sepele atau terlalu dibuat-buat, kita dapat membuat kesimpulan penting berikut ini:

Sudahlah amat jelas bahwa TIDAK ADA Ilmu Sesuatu, dan TIDAK ADA Ilmu Simpan dan Temukan-Kembali. Mau menggunakan jalan pikir apa pun, dan mau dicari di manapun di dunia ini, tak ada dua ilmu yang aneh itu. Dengan kata lain, sudahlah jelas bahwa SESUATU terlalu umum untuk dijadikan objek ilmu, sedangkan "simpan dan temukan-kembali" terlalu sempit untuk dijadikan fokus utama sebuah ilmu.

Sebuah ilmu memerlukan objek yang jelas batas-batasnya dan cukup penting untuk dijadikan bahan kajian sehingga hasil kajiannya dapat dimanfaatkan oleh masyarakat. Sudahlah jelas, bahwa jika objeknya terlalu umum maka tak patut jadi bahan kajian. Sebaliknya, jika terlalu sempit maka objek itu hanya akan menjadi "mainan" ilmuwan yang tak terlalu bermanfaat bagi masyarakat. Dengan jalan pikir seperti ini, kita pertama-tama dapat kembali menyingkirkan pendapat bahwa "simpan dan temukan-kembali" atau "organisasi informasi" adalah objek ilmu. Keduanya jelas bukan INTI atau objek utama IP&I maupun Kepustakawanan. Ini kesimpulan yang sah, sahih, dan logis.

Tetapi, apakah dengan demikian Kearsipan terlalu umum atau terlalu sempit, sehingga tak menjadi bagian dari IP&I? Jawaban sementara saya adalah: Kearsipan lebih sempit dari Perpustakaan, sebagaimana sudah saya jelaskan dengan merujuk ke hakikat dan sejarah peradaban bagian satu si atas.

Jawaban ini bersifat "sementara" karena saya belum menjelaskan seberapa "lebih sempit" fenomena Kearsipan dari Perpustakaan; dan seberapa "lebih luas" Perpustakaan dari Kearsipan. Sebelum menjelaskan, saya perlu menggarisbawahi bahwa baik ARSIP maupun PUSTAKA, dua-duanya merupakan komponen PENTING dalam kehidupan bermasyarakat, sehingga bukan penting-tidaknya lah yang jadi persoalan di sini, melainkan luas-sempitnya persoalan yang akan dijadikan objek ilmu. Tambahan lagi, jangan pula mengganggap bahwa "luas" di sini adalah luas fisik, sebab jangkauan penggunaan dan pemanfaatan arsip sama luasnya dengan jangkauan penggunaan dan pemanfaatan pustaka. Keduanya merupakan fenomena global, dipakai secara amat meluas di seluruh dunia. Baik
arsip maupun pustaka sudah menjadi apa yang dalam sosiologi disebut "institusi sosial" (social institution) yang berciri keluasan penerapan atau praktiknya di sebuah masyarakat.

Namun Perpustakaan memiliki kompleksitas persoalan yang memerlukan solusi lebih rumit serta berpotensi memengaruhi kehidupan manusia secara lebih mendasar. Saya sudah menyentuh hal ini secara amat sepintas di posting sebelumnya. Di posting ini saya akan menguraikannya secara agak lebih rinci.

Walau tradisi membuat dan mengelola arsip diasumsikan lahir terlebih dahulu daripada membuat dan mengelola pustaka, namun ada beberapa bukti yang dapat dijadikan landasan untuk mengatakan bahwa perpustakaan menjadi institusi yang lebih kompleks karena:
  1. Buku (harap jangan dipersoalkan dulu, apakah buku-cetak atau buku-elektronik), sebagai material utama yang dikelola di perpustakaan mendapat kemuliaan dan fungsi-pentingnya pertama-tama dari (dan melalui) kelahiran agama-agama besar di dunia ini. Jika kita membagi dua peradaban manusia menjadi "sebelum ada agama" dan "sesudah ada agama" (tanpa melihat apa agama itu), maka kita dapat menempatkan buku di tengah-tengah. Kita juga dapat menyimpulkan, buku menjadi amat-sangat penting sejak para penyiar agama-agama besar itu menggunakannya sebagai SESUATU sebagaimana didefinisikan pada awal posting ini. Jadi, SESUATU dalam konteks agama-agama besar ini adalah BUKU dan dapat didefinisikan sebagai "wadah yang mengandung teks berupa pernyataan yang mewakili dan/atau menyampaikan kebenaran agama". Untuk membedakan "buku biasa" dari buku yang digunakan untuk agama ini, kita menggunakan istilah Kitab, dan lebih spesifik lagi Kitab Suci. Bahkan untuk mendefinisikan agama, Pemerintah perlu mencantumkan kalimat "..memiliki Kitab Suci" sebagai salah satu syarat. Hal ini tak dapat disetarakan dengan arsip. Tak ada agama-agama besar yang menggunakan arsip untuk menegakkan wahyu. Hakikat buku sebagai "lebih luas" daripada arsip dimulai dari fungsi buku dalam agama-agama wahyu dan monotheisme. Penggunaan buku (atau kitab) oleh agama ini juga merupakan awal kompleksitas buku dan segala hal yang berhubungan perbukuan.

  1. Sebelum buku menjadi saluran pewahyuan dan penegakan agama, ada codex dan segala bentuk wahana lain, misalnya gulungan papirus (papyrus scroll) yang disebut juga rotulus atau volumen yang menjadi saluran non-agama, khususnya untuk saluran pemikiran dan gagasan yang kelak menjadi formal dengan sebutan "ilmu" atau "ilmu pengetahuan" . Dalam pengertian ini, maka fungsi codex serupa dengan arsip di masa-masa awal peradaban, yaitu berfungsi semata-mata untuk menampung rekaman dan digunakan secara "sempit" untuk keperluan tertentu, sebab waktu itu memang "ilmu" belum menjadi bagian dari kehidupan. Tetapi kita dapat yakin bahwa para pemikir brilyan sudah ada waktu itu dan mereka menggunakan teks serta berbagai wahana untuk mengembangkan pemikiran di antara mereka, khususnya dengan menggunakan rotulus atau volumen tadi. Mereka pulalah yang kemudian terbiasa menghimpun teks ini dan merasa bahwa rotulus dan volumen terlalu merepotkan, sementara codex terlalu sederhana. Seperti halnya para penyiar agama, para pemikir ini pulalah yang ikut mendorong kelahiran buku dan bersamaan dengan itu lahirlah Ilmu Pengetahuan. Sejak itulah, pengertian "buku" atau "book" atau "livre" atau "libri" mengkristal menjadi wahana publik (kepentingan umum), bermanfaat (baik secara religius maupun ilmiah), dan amat bernilai (termasuk bernilai ekonomi). Namun semua ini BUKAN karena format fisiknya, sebab buku maupun arsip sama-sama jalinan teks di atas kertas, melainkan karena fungsi dan makna yang dilekatkan masyarakat terhadapnya. *catatan tambahan: saya belum menemukan jawaban, kenapa bangsa Indonesia memilih "pustaka" untuk menerjemahkan "libri" sebagai kata dasar perpustakaan; dugaan saya, ini adalah kata buatan Belanda untuk meneruskan konsep mereka tentang Balai Pustaka*

  1. Perpustakaan-perpustakaan yang pertama hadir di muka bumi (baik di wilayah Laut Tengah, Timur Tengah, Parsi, Cina, India, Amerika Latin) merupakan konsekuensi logis dari pemaknaan dan fungsi buku di atas, dan dari kedua pemaknaan itulah muncul kompleksitas pertama yang tinggal sampai kini, yaitu: masyarakat memerlukan tempat menyimpan dan menemukan buku-buku penting, tetapi pada saat yang sama menghadapi persolan mendasar, yaitu "buku apa yang boleh/perlu disimpan, dan buku apa yang tak perlu disimpan". Persoalan ini seolah-olah persoalan sepele dan teknis (sekarang disebut seleksi buku, atau pengembangan koleksi), padahal di dalamnya mengandung hal yang amat mendasar dan yang dimulai dari potensi pertentangan fungsi buku yang diuraikan di atas. Sejak buku dan perpustakaan menjadi bagian kehidupan manusia, sejak itu pulalah muncul perdebatan tentang manfaat buku, dan sejak itu pula buku dan perpustakaan menjadi ajang perebutan kekuasaan untuk mengendalikan apa yang disebut kebenaran, dan apa yang tidak-benar. Fenomena ini tak terjadi dalam Kearsipan, sebab arsip memiliki fungsi yang lebih spesifik daripada buku, yaitu untuk keperluan administratif.

  1. Sejarah kuna, sejarah klasik, maupun sejarah kontemporer, penuh dengan catatan dan cerita mengenai pertentangan pendapat tentang buku dan perpustakaan, khususnya dari segi seleksi dan penyimpanan. Sebelum ada persoalan tentang "temu kembali", terlebih dahulu ada persoalan seleksi. Persoalan ini terus ada sampai sekarang, dan inilah yang melahirkan profesi pustakawan, dan akhirnya menjadi Kepustakawanan (prinsip, etika, profesionalisme, yang berkaitan dengan pustakawan). Kompleksitas persoalan buku dan perpustakaan "meledak" ketika manusia menemukan teknologi cetak (di Jerman, Korea, Cina). Buku dalam makna aslinya (wahana agama & lmu-pengetahuan) menjadi semakin penting dan potensial sebagai wahana pertentangan antar agama, antar ilmu, dan antara agama dan ilmu. Keadaan menjadi semakin rumit, karena muncul kekuasaan yang datang bukan dari agama maupun bukan dari ilmu, yaitu kekuasaan politik. Sementara, jenis wahana juga berkembang ketika muncul suratkabar, lalu majalah, lalu foto, lalu radio, lalu film, lalu televisi (maaf kalau urut-urutannya nggak bener). Kaum agama pada awalnya adalah satu-satunya penentu koleksi perpustakaan. Ada banyak bukti, sensor adalah kegiatan pertama yang dilakukan di perpustakaan. Pustakawan pada awalnya sama dengan penyiar agama dan ilmuwan: mereka berdualah yang menentukan apa yang perlu disimpan dan apa yang tidak.Belakangan, kerajaan pun ikut campur, dan setelah itu Pemerintahan moderen menjadikan perpustakaan sebagai institusi untuk mengendalikan kebenaran. Semua pihak ini menambah rumit persoalan perpustakaan, sejalan dengan semakin penting dan mendasarnya fungsi buku serta media lainnya dalam kehidupan sehari-hari. Kerumitan ini tak dialami arsip, karena sekali lagi: arsip lebih spesifik, digunakan khususnya untuk menjalankan administrasi yang tertib, walaupun tentu saja administrasi ini juga fundamental dalam kehidupan manusia (administrasi dapat bersifat bisnis, sosial, maupun politik).

  1. Dari keadaan yang rumit itu, profesi Pustakawan tumbuh dan besar dalam suasana penuh pertarungan pemikiran dan pengaruh. Di satu sisi, pustakawan dianggap penting karena mengelola material yang amat penting bagi kehidupan masyarakat, tetapi di sisi lain pustakawan juga dianggap harus menjadi pengikut (atau sub-ordinat) dari pihak yang menentukan kebenaran. Sampai sekarang, itulah dua titik ekstrim yang memengaruhi Kepustakawanan dan seringkali titik ekstrim yang kedualah yang akhirnya berlaku: Pustakawan tak boleh menentukan kebenaran, dia hanya boleh bekerja menata rak-rak buku dan membuat alat temu-kembali (termasuk yang berbantuan komputer); fungsi seleksinya pun diminimalisir dengan hanya melayani apa yang diperlukan oleh pihak lain. Kompleksitas profesi inilah yang akhirnya melahirkan ilmu, dan sekali lagi kedua titik ekstrim itu pun ikut memengaruhi perkembangan ilmu. Di masyarakat yang menghargai pustakawan, ilmunya berkembang menjadi ilmu yang secara kritis mempelajari persoalan-persoalan sosial-budaya yang berkaitan dengan buku dan kebenaran. Di masyarakat yang tak menghargai pustakawan, ilmunya berkembang menjadi ilmu teknik menata buku dan membuat serta mengelola alat temu-kembali. Sekali lagi, hal ini takdialami Kearsipan pada masa awal kelahiran profesinya. Seringkali di masyarakat-masyarakat yang memperhatikan dan mementingkan Kearsipan, persoalan arsip dilesapkan (diintegrasikan) dengan persoalan administrasi bisnis atau administrasi pemerintahan. Kajian-kajian ilmiah tentang arsip pun seringkali "tersembunyi" di dalam kajian-kajian administrasi dan organisasi.
  2. Ilmu Perpustakaan (sebelum menggunakan "dan Informasi") tumbuh menjadi ilmu yang berdiri sendiri di negeri-negeri yang pertamakali memiliki sistem perpustakaan umum yang meluas. Perlu kiranya diklarifikasi, bahwa "perpustakaan untuk umum" atau perpustakaan yang terbuka untuk umum (open to public), sudah ada sejak kelahiran agama-agama besar. Semua agama besar memiliki institusi yang menyediakan bacaan untuk masyarakat secara gratis. Tetapi, seperti yang saya uraikan di atas, isi atau koleksi dari perpustakaan-perpustakaanuntuk umum itu adalah syiar agama. Tak boleh ada koleksi selain itu. Sedangkan perpustakaan umum moderen (public libraries) lahir bersamaan dengan lahirnya pendidikan moderen dan pendidikan umum -atau yang dapat juga disebut "pendidikan sekuler", karena tidak berorientasi pada agama tertentu. Perpustakaan-perpustakaan jenis ini lahir di masyarakat yang menempatkan perkembangan pemikiran atau gagasan sebagai landasan penting bagi kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Pada umumnyamasyarakat-masyarakat seperti ini memiliki dua nilai yang juga sekuler", yakni kebebasan dalam berpikir (kini menjadi berkonotasi negatif, yaitu "liberal") dan pemerintahan yang dilandaskan pada perwakilan rakyat (kini lazim disebut "demokrasi"). Dalam masyarakat-masyarakat seperti ini maka makna dan fungsi buku serta perpustakaan menjadi amat berbeda dari makna dan fungsi sebelumnya. Buku (serta segala bentuk wahana lainnya) menjadi bagian tak terpisahkan dari liberalisasi pemikiran dan demokratisasi penyelenggaraan pemerintahan. Perpustakaan pun akhirnya menjadi perpanjangan (extension) dari fungsi dan makna buku tersebut. Ilmu Perpustakaan (sebelum menggunakan "dan Informasi") pun akhirnya dianggap perlu ada, sebab persoalan yang berkaitan dengan pemikiran bebas dan demokrasi melalui buku dan perpustakaan itu juga semakin memerlukan solusi. Adalah keliru jika kita beranggapan bahwa Ilmu Perpustakaan lahir karena persoalan teknis simpan dan temu kembali. Persoalan teknis ini muncul sebagai konsekuensi (bukan penyebab) dari persoalan sosial-budaya (dan politik!) yang disebabkan liberalisasi dan demokratisasi perpustakaan.

  1. Berdasarkan butir 6 itu pulalah, perpustakaan sebagai institusi sosial menjadi simbol (atau ikon) peradaban sekuler, liberal, demokratis mewakili SEMUA jenis institusi yang di dalamnya mengandung unsur teks, seleksi, simpan, temu-kembali, pemanfaatannya, dan sebagainya. Kemunculan Ilmu Perpustakaan, baik yang dimulai oleh sekolah-sekolah "amatir" di Eropa Barat, maupun oleh universitas di Amerika Serikat pada abad XIX, merupakan ilmu yang dianggap dapat mewakili semua kompleksitas isu yang menyangkut "wadah yang mengandung teks berupa pernyataan yang mewakili maksud, pemikiran, gagasan, ataurealita tertentu" - tentunya dengan 2 syarat utama: (1) wadah itu akan diseleksi, sebelum disimpan, dibuatkan alat temu-kembali, dimanfaatkan, dilestarikan dan sebagainya; (2) wadah itu akan dilibatkan dalam interaksi sosial yang bertujuan mengembangkan pe ngetahuan bersama di sebuah masyarakat. Kita pun dapat kembali ke definisi Perpustakaan sebagaimana yang saya usulkan beberapa posting yang lalu, yaitu: "institusi sosial-budaya yang memastikan perkembangan dan pemanfaatan pengetahuan secara bersama melalui praktik-sosial menyeleksi, mengolah, menyimpan, dan menyediakan pengetahuan"


Dengan demikian, mudah-mudahan kini jelas, mengapa "dan Kearsipan" tak muncul dalam Ip&I. Penyebabnya cukup sederhana: arsip (dan kemudian juga "dokumen") serta segala bentuk wadah lainnya dianggaptermasuk dalam institusi sosial-budaya yang disebut Perpustakaan. Institusi sosial ini tak menggunakan kata "buku" atau "book" karena memang bukan buku sebagai wadah itulah yang menjadi isu, melainkanfenomena sosial-budaya yang menyertainya. Dari penjelasan di atas juga kita dapat melihat bahwa sebagai wadah, maka tak ada perbedaan antara buku, arsip, dokumen, dan berkas komputer. Jika wadah-wadah ini akan disimpan dan ditemukan-kembali, perlakuannya pun akan sama. Semuanya perlu dicatat, dibuatkan deskripsi; semuanya perlu dikategorikan atau dikelas (classified). Dalam sistem penyimpanan (storage), semua wadah itu akan diwakili secara sederhana sehingga dapat mudah ditemukan kembali (retrieve). Tak peduli, apa pun wadah itu namanya, sistem simpan dan temu-kembalinya akan sama.

Maka itulah, kita menggunakan kata PUSTAKA, bukan buku, bukan arsip, bukan dokumen.
Maka itulah, tak ada kata "dan Kearsipan" di dalam IP&I.

Tetapi, tentu saja, jawaban yang begini panjang juga belum tuntas! Saya perlu mengurai lebih lanjut apa sebenarnya yang dipelajari jika kita memakai istilah Ilmu Kearsipan. Saya akan sampaikan di postingberikutnya.

Cheers,

Putu Laxman Pendit


Sumber:

  1. Mengapa Tidak Ada "dan Kearsipan" dalam IP&I - Bagian 1

  1. Mengapa Tidak Ada "dan Kearsipan" dalam IP&I - Bagian 2