Bagi
mahasiswa kearsipan, khususnya yang jenjang pendidikannya DIII tentu pernah
bertanya - tanya atau mencari jawaban mengapa tidak ada Program Strata 1
(S1) Kearsipan sehingga tidak jarang para mahasiswa D3 Kearsipan yang akan
meneruskan jenjang S1 akan memilih berbagai macam jurusan seperti Administrasi
Negara, Hukum, Teknologi Informasi, Ilmu Perpustakaan dan Informasi
(IP&I),dll. Dari beberapa pilihan jurusan tersebut, jurusan
IP&I adalah jurusan yang paling banyak terkait dengan kearsipan. Secara
historis, jurusan IP&I memasukkan ilmu arsip (archival science)
di dalamnya. Pertanyaan selanjutnya pun akan muncul, pertama; Mengapa
IP&I tidak menambah embel-embel "Kearsipan" sehingga menjadi
Jurusan Ilmu Perpustakaan, Kearsipan dan Informasi? padahal di dalamnya juga
ada konsentrasi Kearsipannya juga; yang Kedua, Mengapa tidak ada Jurusan
Kearsipan yang otonom berdiri sendiri tidak digabung dengan IP&I?
Secara pribadi sejak tahun 2004 saya pernah mencari jawaban atas
pertanyaan yang "mengganggu" ini, sampai akhirnya saya
menemukan milist ICS
yang sering berdiskusi tentang ilmu perpustakaan dan informasi, termasuk di
dalamnya kearsipan, meskipun kalau saya lihat di sana lebih banyak yang
bergelut dalam bidang perpustakaan daripada kearsipannya. Salah satu anggota
milist yang aktif melahirkan gagasan-gagasan yang smart adalah beliau Pak
Putu, lengkapnya Putu Laxman Pendit. Melalui jalur pribadi, saya sering bertanya kepada beliau
tentang kedudukan Kearsipan di dalam IP&I. Dari 2 pertanyaan di atas,
pertanyaan yang pertamalah yang akan dibahas dalam tulisan ini, sementara
pertanyaan yang kedua belum kita bahas secara mendalam dan ini sebenarnya PR
kita bersama. Namun demikian, penjelasan atas pertanyaan pertama ini juga
sedikit memberi jawaban atas pertanyaan kedua. Akhir Mei 2012, Pak Putu
mengangkat topik "Mengapa Tidak Ada 'dan Kearsipan' dalam
IP&I" lewat milist ICS. Jadi apa yang akan saya tulis
merupakan copy paste dari hasil postingan beliau di milist
tersebut. Berikut adalah penjelasannya.
BAGIAN PERTAMA
Rekan-rekan,
Melalui
jalur-pribadi, beberapa orang pernah bertanya kenapa tak ada kata
"Kearsipan" dalam judul ilmu yang selama ini kita bicarakan. Salah
satu yang bertanya dengan gigih adalah Rekan Prayiet El Akhtar (begitu namanya tertulis, mudah-mudahan saya tidak salah)
dan saya harus minta maaf karena tak dapat sesegara menjawab setiap ia
bertanya.
Tadinya
saya berharap ada orang lain yang dapat menjelaskan hal ini secara terbuka di
Indonesia, tetapi ternyata juga tak ada. Sangat mungkin karena saya yang selama
ini tak pernah membaca penjelasan tuntas tentang itu. Kalau memang sudah ada
penjelasan tentang hal ini, saya mohon penjelasan saya tidak dibenturkan
dengannya, sebelum saya juga membacanya.
Izinkan
saya berbagi pengetahuan, yang tentu amat terbatas, tentang Kearsipan atau
"ilmu arsip" ini. Seperti biasanya, saya juga perlu mengingatkan
bahwa sebenarnya amat banyak ada bacaan tentang hal ini, beberapa di antaranya
tersedia di Internet, dan yang paling umum adalah di wikipedia, yaitu di:
Sumber
ini adalah sumber terbuka, dan seperti sebelumnya saya menganjurkan agar kita
tidak mengandalkan sumber itu saja.
Sumber
lain yang lebih "serius" dan dapat dilacak pengutipannya adalah ini:
Salah
satu inisiatif yang melibatkan banyak negara yang sangat aktif mendukung Ilmu
Kearsipan adalah The International Institute for
Archival Science of Trieste and Maribor, dapat dilihat di sini:
Archival Science of Trieste and Maribor, dapat dilihat di sini:
Beberapa
penjelasan ada dalam bentuk buku yang tentu harus dibeli,yaitu:
Saya
tak punya kapasitas yang sama dengan sumber-sumber di atas,sehingga silahkan
Rekan-Rekan membacanya sendiri dan membandingkan dengan penjelasan saya di
posting ini. Dua hal utama yang menjadi landasan penjelasan saya adalah (1)
pengalaman saya ketika diajak Prof.Sulistyo-Basuki merancang dan menjalankan
program Pascasarjana tahun 1990an yang silam, dan (2) pehamaman saya tentang
filsafat kepustakawanan dan filsafat IP&I -yang tidak pakai "dan
Kearsipan" itu. Maka tentu saja sejak awal harus saya ingatkan bahwa
penjelasan ini "biased" alias cenderung menggiring Anda ke
IP&I -yang tidak pakai "dan Kearsipan" itu. Saya mohon maaf
sebelumnya atas kecenderungan ini dan silahkan tak mengikuti
"giringan" yang disengaja ini jika Anda tak mau.
Setelah
basa-basi di atas, izinkan saya memulai pembahasan.
Di
suatu masa saya pernah terlibat dalam sebuah pertemuan untuk memutuskan nama
program studi yang amat panjang, yaitu Program Studi Ilmu Perpustakaan,
Kearsipan, Dokumentasi, dan Informasi. Maaf kalau ingatan saya terbatas, tetapi
secara umum dapat saya katakan bahwa saat itu memang ada keinginan untuk
memasukkan semua fenomena yang melibatkan proses penyimpanan dan penemuan
kembali pengetahuan terekam
(recorded
knowledge) ke dalam satu wadah ilmu. Beberapa
tahun sebelum itu, bersama dengan Prof. Sulistyo-Basuki dan Almarhum Doktor
Karmidi, saya juga pernah terlibat dalam upaya merumuskan Ilmu Perpustakaan
(tanpa embel-embel "dan Informasi" maupun lainnya -seolah sedang
memurnikan institusi perpustakaan). Dalam masa yang hampir sama, saya juga
pernah diajak Departemen P&K (sekarang menjadi Kemdikbud)-sekali lagi
bersama Prof. Sulistyo-Basuki- menyusun kurikulum inti Ilmu Perpustakaan,
bersama teman-teman dari Ilmu Filsafat yang dianggap satu "rumpun".
Dari
ketiga pengalaman tersebut, ada beberapa hal yang dapat saya simpulkan sebagai
landasan pemikiran saya, yaitu:
- Ada kecenderungan amat kuat untuk berkonsentrasi pada aspek proses kerja sehingga muncul perhatian yang khusus terhadap jenis-jenis teknik dan kegiatan pengolahan yang melibatkan rekaman pengetahuan berdasarkan ciri-ciri pembedanya. Itu sebabnya, "pustaka" dilihat sebagai berbeda dari "arsip", atau "rekod", atau"dokumen". Pembedaannya seringkali dalam bentuk fisik atau teknologinya.
- Orientasi utama yang sejalan
dengan kecenderungan di atas adalah penciptaan pekerja profesional untuk
menangani jenis-jenis rekaman yang spesifik tersebut. Hal ini semakin
diperkuat oleh kepentingan kebutuhan tenaga dari tiga lembaga besar di
Indonesia, yaitu Perpustakaan Nasional, Arsip Nasional, dan Pusat
Dokumentasi
& Informasi Ilmiah LIPI.
- Ada pengaruh amat kentara dari sistem bantuan pendidikan perguruan tinggi yang diterima Indonesia pada masa Orde Baru. Bantuan dari Amerika Serikat cenderung menonjolkan "perpustakaan" sebagai bagian dari kampanye mereka tentang demokrasi, bantuan dari Belanda cenderung mendorong kearsipan dan preservasi sebagai "tanggungjawab historis" negeri yang pernah menjajah kita itu, bantuan dari negara-negara Eropa lainnya (kecuali Belanda yang sudah disebut khusus) cenderung membuka wawasan tentang dokumentasi, khususnya yang dikaitkan dengan pandangan-pandangan Paul Otlet dan Suzana Briet (disebut juga sebagai "Madame Documentation") yang berasal dari Perancis itu. Belakangan juga muncul bantuan dari Australia yang membujuk kita untuk memperhatikan rekod (record) sebagai bagian dari "good governance" baik untuk Pemerintahan maupun kepatutan bisnis swasta. Saya tak tahu apakah ada bantuan dari Arab Saudi, Republik Rakyat Cina, Jepang, eks Uni Soviet, atau negara-negara lain. Maaf kalau mereka terluput.
- Ada masa ketika gelombang
teknologi, khususnya teknologi perekaman digital dan administrasi
perkantoran/bisnis, mendorong para ilmuwan maupun "ilmuwan"
memopulerkan "record management" sebagai bagian yang katanya tak
terpisahkan dari "knowledge management".
Beberapa perusahaan pengimpor alat-alat berbantuan komputer mengadakan seminar-seminar di berbagai kota untuk mendorong perhatian kita ke mesin-mesin pengarsipan dan dokumentasi.
Menarik
untuk dicatat, bahwa di antara semua "aliran" dan pemikiran di atas,
kata "informasi" seolah lesap. Tak ada yang ingin menyoal apakah
sesungguhnya yang dimaksud dengan informasi. Paling-paling para ahli (atau yang
mengaku ahli) di bidang-bidang itu akan mengatakan bahwa informasi adalah
"isi" (content) tanpa pernah dapat menjelaskan lebih jauh, apa
sesungguhnya isi tersebut. Tentang hal ini pernah saya singgung. Jadi tak akan
saya ulangi.
Nah,
sewaktu pada tahun 1990an kami mencoba menyusun kurikulum untuk program studi
bernama panjang di Depok itu, salah satu persoalan utamanya adalah menemukan
landasan ilmiah bagi penyebutan kearsipan dan dokumentasi. Namun harus saya
sampaikan di sini bahwa persoalan ini tak pernah terselesaikan, sebab
dikalahkan oleh desakan yang dianggap paling penting waktu itu, yakni: menghasilkan
lulusan yang "siap pakai" di bidang-bidang tersebut di atas.
Pandangan bahwa sekolah bertujuan menghasilkan pekerja siap pakai, amatlah kuat
waktu itu (dan mungkin juga sampai sekarang). Pertimbangan tentang keterampilan
teknis mengelola arsip, rekod, atau dokumen menjadi pertimbangan utama. Itu
sebabnya kurikulum dijejali oleh ajaran tentang tata-kerja, cara penggunaan
alat kerja (khususnya yang berbantuan komputer), dan standar atau manual kerja.
Kalaupun ada pembahasan tentang hakikat dan konteks, maka yang digunakan adalah
materi berupa pengalaman kerja parapengajar.
Sejauh
kurikulum itu dirancang untuk memenuhi tuntutan lapangan kerja, nampaknya tak
ada persoalan. Mahasiswa puas, para penyewa profesi puas, dan dosen pun puas.
Persoalan baru muncul ketika ada persyaratan akademik (mohon ingat, saya bicara
tenang program studi pascasarjana) bahwa para mahasiswa S2 harus membuat tesis,
dan tesis ini harus berlandaskan penelitian. Waduh.. pikir saya waktu itu...
bagaimana membedakan penelitian ilmu perpustakaan dari ilmu kearsipan dan ilmu
dokumentasi (dan ilmu informasi)? Bagaimana dengan metodologinya? Bagaimana
dengan teori-teorinya?
Sekali
lagi, "waduh" ini segera terdengar "kontra-produktif" jika
dihadapkan dengan "tuntutan pasar lapangan kerja". Secara implisit
muncul desakan, kira-kira seperti ini: ya, sudahlah, tinggal ganti saja objek
penelitiannya dari "pustaka" (buku) menjadi arsip, rekod, atau
dokumen. Gitu aja kok repot. Maka jadilah akhirnya saya pernah membimbing beberapa
mahasiswa pasca sarjana; yang satu meneliti perpustakaan, yang satu meneliti
kearsipan, yang satu meneliti dokumentasi, tetapi ketiganya menggunakan teori
perilaku informasi. Beres!! Metodenya sama, persoalan dan kasusnya sama,
tempatnya sama. Yang berbeda cuma tampang mahasiswanya, ada yang kusut, ada
yang murung, dan ada yang bengong.. he he he.
Sambil
membimbing mahasiswa-mahasiswi kusut-murung-bengong itu, kami --para pengajar
yang peduli (sebab ada juga yang tidak..kekekeke)-- mulai berpikir (sebab kami
digaji untuk berpikir): sebenarnya apa perbedaan utama dari perpustakaan,
kearsipan, dan dokumentasi SELAIN perbedaan objek material dan
teknik-proseduralnya? Dengan sok keren, beberapa di antara kami mulai mengusut
asal muasal ketiganya, dan secara sok ilmiah kami pun membicangkan epistemologi
ketiganya. Sesungguhnyalah beberapa dosen itu sok, selain mengalami shock!
--untungnya tidak stroke!
Pengusutan
epistemologi bersama beberapa kawan dalam negeri dan luar negeri itulah yang
membawa saya ke kesimpulan-kesimpulan berikut ini:
- Dari segi sejarah kelahiran dan
hakikatnya maka terdapat rentang-kaitan yang bermula dari tulisan alias
teks. Temuan-temuan arkeologi di lembah Sungai Tigris (sekarang Turki)
membuktikan bahwa 3000 tahun sebelum Masehi (atau 5000 tahun sebelum hari
ini) bangsa Sumeria melakukan tindakan pertama menggunakan tulisan untuk
mencatat apa-apa saja yang mereka lakukan dalam hidup mereka. Ini adalah
tindakan pertama umat manusia untuk menciptakan rekaman alias "record" dan tindakan inilah yang ditiru oleh Assiria, lalu Yunani, lalu Romawi, lalu kerajaan-kerajaan Kristen di Eropa, dan Islam di Jazirah Arab, lalu juga terjadi di Asia Timur dan Amerika Latin, terus bertahan sebagai ciri-khas peradaban manusia sampai sekarang. Secara ilmiah (sekali lagi melalui kelapangan pikiran para arkeolog) juga dapat
dibuktikan bahwa rekaman-rekaman pertama yang dilakukan oleh umat manusia adalah rekaman tentang transaksi dan kondisi sosial di suatu masa. Rekaman bangsa Sumeria itu ditulis di tanah liat dalam bentuk sabak ("tablet", yang sekarang biasa disebut iPad.. hehehe), berisi catatan tentang panen, barter, musim, jumlah penduduk, silsilah, dan yang semacamnya. Rekaman ini tidak hanya untuk catatan kehidupan,
tetapi juga disimpan dengan tata-aturan tertentu. Dengan kata lain, ada satu kondisi yang pasti (niscaya) dalam semua peradaban, yaitu : menulis dan merekam kehidupan. Dengan kata lain pula, yang pertama muncul adalah tulisan, dan setelah itu rekaman, dan lalu arsip (rekaman yang ditata dan disengaja)!
- Mengapa bangsa Sumeria yang
belum beragama itu (waktu itu Yahudi, Kristen, Islam, Hindu, Buddha belum
ada) merasa perlu merekam kehidupan mereka, khususnya kehidupan yang
menyangkut interaksi mereka dengan alam (catatan panen, musim,
terbit-tenggelamnya matahari) dan sesama manusia (barter hasil panen,
siapa bapaknya siapa, siapa kawin sama siapa)? Mengapaaaaa...? [ini adalah
kata tanya yang paling sering
diajukan seorang ilmuwan]. Berhubung bangsa Sumeria sudah punah, maka kita tak bisa bertanya kepada mereka. Jawaban yang dapat dikarang oleh para arkeolog berdasarkan logika dan pertimbangan empirik (bukti-bukti tertulis maupun bentuk sisa-sisa bangunan) adalah: rekaman atau arsip itu dibuat untuk menata kehidupan bermasyarakat, sebagai bagian dari tata-aturan alias hukum. Dengan kata lain, urut-urutannya adalah sebagai berikut: tulisan --> rekaman --> arsip -->
tata-aturan bermasyarakat --> hukum (sehari-hari).
- Bayangkanlah saudara-saudaraku
sebangsa dan setanah air, orang-orang Sumeria melakukan kebiasaan awal itu
secara turun-temurun selama 2000 tahun (usia manusia cuma rata-rata 70
tahun). Tak mengherankan jika kebiasaan itu bertahan dan ditiru oleh
bangsa-bangsa berikutnya, termasuk oleh kerajaan-kerajaan berbasis agama,
termasuk oleh negara-negara moderen, dan akhirnya sampai sekarang.
Kebiasaan ini
mulai dilakukan SEBELUM manusia menciptakan "codex" -nenek moyangnya buku, dan tentu saja jauuuuuuuuh.. sebelum orang menemukan komputer atau iPad yang akhirnya kita gunakan untuk melakukan hal yang PERSIS SAMA dengan yang dilakukan orang-orang Sumeria itu, yakni mencatat dan merekam.
- Kapan "codex" dan kebiasaan menulis buku lahir? Ribuan tahun setelah kebiasaan mengarsip. Sekali lagi para arkeolog membantu kita menemukan bukti-bukti bahwa setelah kebiasaan menulis dan menyimpan arsip, muncul kebiasaan menulis di atas gulungan (roll), lalu codex (lembaran), dan akhirnya buku (kertas). Ini kebiasaan yang universal, terjadi di segala penjuru dunia pada waktu yang hampir bersamaan. Sekali lagi muncul pertanyaan: mengapaaaaa..? Mengapa manusia tak cukup puas dengan menulis untuk arsip dan hukum. Inilah jawaban singkatnya: sebab arsip hanya merekam transaksi, hanya cocok untuk mengingatkan, sehingga memang berfungsi sebagai bagian dari tata-aturan yang spesifik pula. Inilah jawaban panjangnya: Umat manusia memerlukan suatu cara yang lebih dari sekadar merekam transaksi dan kesepakatan, sebab manusia perlu merekam pikiran yang lebih luas daripada sekadar transaksi, perlu mencatat hal-hal yang lebih dari sekadar kesehari-harian, dan --ini yang paling penting-- sebab manusia mulai memikirkan hal-hal di LUAR KEHIDUPAN secara abstrak. Dengan kata lain, urut-urutannya adalah sebagai berikut:
tulis > rekam > arsip > tata-aturan sehari-hari
--------------> tata-aturan lebih luas > codex
> buku > pemikiran abstrak
- Hal penting lain yang perlu
disimak adalah kenyataan bahwa teknologi codex muncul bersamaan dengan
kemunculan agama-agama monotheisme (bertuhan satu) yang memerlukan wahana
untuk menyebar secara luas, konsisten, dan berdisiplin. Tanpa codex (dan
kemudian buku), sulit bagi agama-agama itu untuk tersebar dan ditegakkan
atau ditaati secara konsisten. Sejarah mencatat, buku menemukan nilai
utama dan mulianya lewat agama. Pada saat bersamaan muncul kebiasaan
manusia untuk memikirkan semua aspek kehidupan, menemukan jawaban dan
solusi. Mungkin Rekan-Rekan semua sudah paham, bahwa kebiasaan memikirkan
dan mencari solusi ini akhirnya kita namakan "ilmu pengetahuan".
Jadi, ada kaitan amat erat antara buku, pikiran abstrak, dan agama. Dari
segi ilmiah (sekali lagi, mohon posting ini dibaca sebagai tulisan ilmiah,
bukan tulisan religus. Please!) maka buku, ilmu, dan agama adalah fenomena
yang berbasis sama dengan fenomena pengarsipan, yaitu teks (tulisan). Kita
dapat membuat skema sederhana seperti ini:
tulis > rekam > arsip > tata-aturan sehari-hari
------------> tata-aturan lebih luas > codex
> buku > pemikiran abstrak.------------> religi
------------->
pengetahuan
- Dari skema di atas, kita dapat mencoba memahami, mengapa secara universal lebih menonjol Ilmu Perpustakaan dibandingkan Ilmu Kearsipan. Secara ontologis (hakikat dari apa yang dipelajari), sebenarnya kedua ilmu ini mempelajari rekaman berdasarkan peradaban tulisan atau teks (dari kata "textere"). [mohon ingat, gambar atau video juga "tulisan" dalam konteks rekaman ini, sebab gambar atau video juga merupakan "jalinan pikiran" atau textere]. Namun secara epistemologis (bagaimana kebenaran ilmiah ditemukan) kedua ilmu ini mengalami perlakuan berbeda, karena hakikat arsip dan buku memiliki pengaruh yang amat berbeda di masyarakat, dan buku dianggap lebih unggul untuk hal-hal yang amat mendasar selain amat meluas, yaitu religi dan ilmu. Kedua hal mendasar ini kemudian akan memengaruhi hal mendasar berikutnya yang menjadi sendi utama semua negara moderen, yaitu politik. Tetapi jalan pikiran ini belum dapat dipakai untuk menjawab secara tuntas kenapa ada Ilmu PERPUSTAKAAN, dan bukan Ilmu Pustaka atau Ilmu Buku. Saya perlu melanjutkan ke point berikutnya.
- Sejalan dengan semakin pentingnya pemikiran abstrak dalam kehidupan manusia, maka jenis pemikiran yang dibukukan pun semakin banyak. Kita tahu bahwa sejak kelahiran buku, dan khususnya lagi sejak muncul mesin cetak (pertama di Cina dan Korea, kemudian di Jerman), buku tak hanya berisi ajaran agama dan pemikiran pengetahuan, tetapi juga sastra. Setelah itu muncul media massa dan segala bentuk ekspresi manusia pun akhirnya direkam, dibukukan, dan disebarkan. Selain fenomena yang nampaknya baru "meledak" setelah ada mesin cetak itu, sebenarnya sudah ada kebiasaan lain yang sering luput dari perhatian para pengamat perbukuan dan media massa kontemporer, yaitu kebiasaan MENYIMPAN yang pada hakikatnya juga merupakan kelanjutan alamiah dari kebiasaan merekam catatan yang dilakukan bangsa Sumeria 5000 tahun silam itu. Sejak tulisan diciptakan manusia, sejak itu pula muncul persoalan dan solusi dalam menyimpan tulisan. Dengan kata lain, kita kini dapat membuat skema yang lebih kompleks melibatkan sebuah kebiasaan spesifik berupa tata-cara penyimpanan, sebagai berikut:
tulis
> rekam > arsip > ...... |SIMPAN|
tata-aturan
sehari-hari
-------------->
codex > buku > |SIMPAN| religi,pengetahuan, sastra
Tentu
saja, manusia menyimpan sesuatu karena sesuatu itu dianggap penting dan sesuatu
itu dapat ditemukan (mana ada orang menyimpan sesuatu supaya tidak bisa
ditemukan kembali; itu namanya "menyembunyikan") agar dapat digunakan
kembali, dmaka skemanya semakin rumit:
tulis
> rekam > arsip > ......
|SIMPAN||TEMU|GUNAKAN|<
ketertiban sehari-hari
-------------->
codex > buku >
|SIMPAN||TEMU|GUNAKAN|<
kehidupan yang lebih luas
Perlu
kiranya sekali lagi saya tegaskan bahwa semua kegiatan di atas didasarkan pada
teks dan dalam KON-teks interaksi sosial (hubungan antar-manusia). Sejak zaman
Sumeria sampai sekarang, semua kegiatan di atas adalah dalam konteks interaksi
sosial. Sampai kapanpun, keadaan ini akan terus berlanjut, terlepas dari jenis
alat rekamannya. Perpustakaan dalam pengertian sempit adalah institusi yang
sama saja dengan institusi kantor arsip. Namun, sekali lagi karena pertimbangan
pengaruhnya pada kehidupan yang diasumsikan lebih luas dari sekadar tertib-administrasi,
maka institusi perpustakaan mendapat perhatian yang lebih besar dan melahirkan
pemikiran filosofis maupun ilmiah yang lebih banyak, katimbang yang diberikan
terhadap kantor-kantor arsip
Point
ke-7 di atas menyudahi argumen saya tentang mengapa secara epistemologis Ilmu
Perpustakaan seolah-olah mendapatkan lebih banyak legitimasi daripada Ilmu
Kearsipan. Namun tentu saja argumen ini amat lemah, karena hanya didukung oleh
pemahaman tentang hakikat dari keduanya dilihat dari segi sejarah. Situs yang
saya kutip di atas, yaitu The International Institute for Archival Science
of Trieste and Maribor, justru akan membantah argumen saya, sebab di sana
justru dibuktikan bahwa arsip amat penting (bahkan paling penting) dalam
kehidupan moderen, termasuk dalam kehidupan politik sebagaimana ketika arsip
dijadikan landasan bagi "good governance" dan demokratisasi.
Saya
perlu mengulas hal ini lebih jauh di posting berikutnya. Mudah-mudahan posting
ini telah menjelaskan argumen-argumen dasarnya terlebih dahulu, sebelum
dilanjutkan dengan diskusi yang lebih rinci tentang perbedaan Ilmu Perpustakaan
dan Ilmu Kearsipan. Saya juga belum sempat menyentuh Ilmu Dokumentasi (jika ini
juga akan disebut ilmu). Namun ada satu "ikatan" yang akan saya terus
gunakan dalam membahas ketiganya, yaitu bahwa yang dipelajari oleh ilmu-ilmu
ini adalah interaksi sosial, bukan teknik dan tata-cara kerja institusi.
BAGIAN
KEDUA
Jika
kita perhatikan baik-baik, kalau perlu sambil menghela nafas panjang dan
melepaskannya perlahan-lahan, maka "buku", "arsip",
"dokumen", dan "berkas komputer" (computer files) saat ini
memiliki kesamaan yang khas. Mereka semua adalah "sesuatu yang mengandung
sesuatu yang berupa sesuatu yang mewakili sesuatu". Jadi memang
"sesuatu sekaleee.." kalau kata anak muda zaman sekarang yang sangat
dipengaruhi televisi dan sinetron itu :-)
Mari
kita urai sejenak 4 (empat) "sesuatu" itu:
- Wadah, atau wahana, atau media
- Teks atau segala bentuk rangkaian lainnya
- Pernyataan
- Maksud, pemikiran, gagasan, realita
Jadi,
dengan menggunakan empat "sesuatu itu", kita dapat menyimpulkan bahwa
baik buku, arsip, dokumen, maupun berkas komputer adalah "wadah yang
mengandung teks berupa pernyataan yang mewakili maksud, pemikiran, gagasan,
atau realita tertentu". Kalau mau diperluas, definisi ini juga bisa
digunakan untuk menguraikan sesuatu-koran, sesuatu-iPad, sesuatu-satelit,
sesuatu-telepon-seluler .... Pokoknya sesuatu sekali! [sekali lagi,
"teks" di sini tak harus tulisan, melainkan segala jalinan simbol
atau "textere", jadi dapat juga berupa foto, video, dan sebagainya].
Sekarang,
kembali ke persoalan kita yang belum tuntas: mengapa tak ada "dan
Kearsipan" dalam IP&I? Kita dapat kembali ke definisi umum tentang
keempat unsur di atas, dan membahas terlebih dahulu kesamaan antara buku,
arsip, dan dokumen (saya batasi tiga ini saja dulu, supaya diskusi nggak
ngalor-ngidul). Seharusnya, jika memang ketiga sesuatu ini adalah sesuatu yang
sama, mengapa tak menjadi Ilmu Sesuatu saja? Atau mengapa tidak menjadi Ilmu
Wadah Yang Mengandung Teks Berupa Pernyataan yang Mewakili Maksud, Pemikiran,
Gagasan, atau Realitas Tertentu -- disingkat menjadi IWMTBPMMPGRT?
Mustahil
akan ada ilmu seperti itu, kan?
Mari
kita coba pendekatan lain. Baik buku, arsip, maupun dokumen menjadi pusat
perhatian kita karena kita harus menyimpannya untuk ditemukan kembali ketika
diperlukan. Dalam istilah kita, inilah yang disebut simpan (store) dan
temukan-kembali (retrieve), dan ketika menjadi sistem kebendaan yang dilengkapi
teknik tertentu, ia disebut "storage and retrieval system".
Jika
memang buku, arsip, dan dokumen sama-sama merupakan SESUATU yang sama, dan jika
hal yang paling penting dalam kaitannya dengan sesuatu itu adalah "storage
and retrieval", mengapa tidak ada Storage and Retrieval Science atau Ilmu
Simpan dan Temukan-Kembali?
Mengapa
justru namanya Ilmu Perpustakaan dan Informasi? M e n g a p a ...aaaa ... aaaa.
aaaaa?
Dan
mengapa tidak ada "dan Kearsipan"-nya? M e n g a p a ...aaaa ...
aaaa. aaaaa?
Pertanyaan-pertanyaan
yang mungkin terdengar konyol ini sebenarnya memberi peluang bagi kita untuk
kembali menjelaskan, apa sebenarnya yang kita maksud dengan IP&I. Dari
pembahasan di atas yang tampaknya sepele atau terlalu dibuat-buat, kita dapat
membuat kesimpulan penting berikut ini:
Sudahlah
amat jelas bahwa TIDAK ADA Ilmu Sesuatu, dan TIDAK ADA Ilmu Simpan dan
Temukan-Kembali. Mau menggunakan jalan pikir apa pun, dan mau dicari di manapun
di dunia ini, tak ada dua ilmu yang aneh itu. Dengan kata lain, sudahlah jelas
bahwa SESUATU terlalu umum untuk dijadikan objek ilmu, sedangkan "simpan
dan temukan-kembali" terlalu sempit untuk dijadikan fokus utama sebuah ilmu.
Sebuah
ilmu memerlukan objek yang jelas batas-batasnya dan cukup penting untuk
dijadikan bahan kajian sehingga hasil kajiannya dapat dimanfaatkan oleh
masyarakat. Sudahlah jelas, bahwa jika objeknya terlalu umum maka tak patut
jadi bahan kajian. Sebaliknya, jika terlalu sempit maka objek itu hanya akan
menjadi "mainan" ilmuwan yang tak terlalu bermanfaat bagi masyarakat.
Dengan jalan pikir seperti ini, kita pertama-tama dapat kembali menyingkirkan
pendapat bahwa "simpan dan temukan-kembali" atau "organisasi
informasi" adalah objek ilmu. Keduanya jelas bukan INTI atau objek utama
IP&I maupun Kepustakawanan. Ini kesimpulan yang sah, sahih, dan logis.
Tetapi,
apakah dengan demikian Kearsipan terlalu umum atau terlalu sempit, sehingga tak
menjadi bagian dari IP&I? Jawaban sementara saya adalah: Kearsipan
lebih sempit dari Perpustakaan, sebagaimana sudah saya jelaskan dengan merujuk
ke hakikat dan sejarah peradaban bagian satu si atas.
Jawaban
ini bersifat "sementara" karena saya belum menjelaskan seberapa "lebih
sempit" fenomena Kearsipan dari Perpustakaan; dan seberapa "lebih
luas" Perpustakaan dari Kearsipan. Sebelum menjelaskan, saya perlu
menggarisbawahi bahwa baik ARSIP maupun PUSTAKA, dua-duanya merupakan komponen
PENTING dalam kehidupan bermasyarakat, sehingga bukan penting-tidaknya lah yang
jadi persoalan di sini, melainkan luas-sempitnya persoalan yang akan dijadikan
objek ilmu. Tambahan lagi, jangan pula mengganggap bahwa "luas" di
sini adalah luas fisik, sebab jangkauan penggunaan dan pemanfaatan arsip sama
luasnya dengan jangkauan penggunaan dan pemanfaatan pustaka. Keduanya merupakan
fenomena global, dipakai secara amat meluas di seluruh dunia. Baik
arsip
maupun pustaka sudah menjadi apa yang dalam sosiologi disebut "institusi
sosial" (social institution) yang berciri keluasan penerapan atau
praktiknya di sebuah masyarakat.
Namun
Perpustakaan memiliki kompleksitas persoalan yang memerlukan solusi lebih rumit
serta berpotensi memengaruhi kehidupan manusia secara lebih mendasar. Saya
sudah menyentuh hal ini secara amat sepintas di posting sebelumnya. Di posting
ini saya akan menguraikannya secara agak lebih rinci.
Walau
tradisi membuat dan mengelola arsip diasumsikan lahir terlebih dahulu daripada
membuat dan mengelola pustaka, namun ada beberapa bukti yang dapat dijadikan
landasan untuk mengatakan bahwa perpustakaan menjadi institusi yang lebih
kompleks karena:
- Buku (harap jangan dipersoalkan dulu, apakah buku-cetak atau buku-elektronik), sebagai material utama yang dikelola di perpustakaan mendapat kemuliaan dan fungsi-pentingnya pertama-tama dari (dan melalui) kelahiran agama-agama besar di dunia ini. Jika kita membagi dua peradaban manusia menjadi "sebelum ada agama" dan "sesudah ada agama" (tanpa melihat apa agama itu), maka kita dapat menempatkan buku di tengah-tengah. Kita juga dapat menyimpulkan, buku menjadi amat-sangat penting sejak para penyiar agama-agama besar itu menggunakannya sebagai SESUATU sebagaimana didefinisikan pada awal posting ini. Jadi, SESUATU dalam konteks agama-agama besar ini adalah BUKU dan dapat didefinisikan sebagai "wadah yang mengandung teks berupa pernyataan yang mewakili dan/atau menyampaikan kebenaran agama". Untuk membedakan "buku biasa" dari buku yang digunakan untuk agama ini, kita menggunakan istilah Kitab, dan lebih spesifik lagi Kitab Suci. Bahkan untuk mendefinisikan agama, Pemerintah perlu mencantumkan kalimat "..memiliki Kitab Suci" sebagai salah satu syarat. Hal ini tak dapat disetarakan dengan arsip. Tak ada agama-agama besar yang menggunakan arsip untuk menegakkan wahyu. Hakikat buku sebagai "lebih luas" daripada arsip dimulai dari fungsi buku dalam agama-agama wahyu dan monotheisme. Penggunaan buku (atau kitab) oleh agama ini juga merupakan awal kompleksitas buku dan segala hal yang berhubungan perbukuan.
- Sebelum buku menjadi saluran pewahyuan dan penegakan agama, ada codex dan segala bentuk wahana lain, misalnya gulungan papirus (papyrus scroll) yang disebut juga rotulus atau volumen yang menjadi saluran non-agama, khususnya untuk saluran pemikiran dan gagasan yang kelak menjadi formal dengan sebutan "ilmu" atau "ilmu pengetahuan" . Dalam pengertian ini, maka fungsi codex serupa dengan arsip di masa-masa awal peradaban, yaitu berfungsi semata-mata untuk menampung rekaman dan digunakan secara "sempit" untuk keperluan tertentu, sebab waktu itu memang "ilmu" belum menjadi bagian dari kehidupan. Tetapi kita dapat yakin bahwa para pemikir brilyan sudah ada waktu itu dan mereka menggunakan teks serta berbagai wahana untuk mengembangkan pemikiran di antara mereka, khususnya dengan menggunakan rotulus atau volumen tadi. Mereka pulalah yang kemudian terbiasa menghimpun teks ini dan merasa bahwa rotulus dan volumen terlalu merepotkan, sementara codex terlalu sederhana. Seperti halnya para penyiar agama, para pemikir ini pulalah yang ikut mendorong kelahiran buku dan bersamaan dengan itu lahirlah Ilmu Pengetahuan. Sejak itulah, pengertian "buku" atau "book" atau "livre" atau "libri" mengkristal menjadi wahana publik (kepentingan umum), bermanfaat (baik secara religius maupun ilmiah), dan amat bernilai (termasuk bernilai ekonomi). Namun semua ini BUKAN karena format fisiknya, sebab buku maupun arsip sama-sama jalinan teks di atas kertas, melainkan karena fungsi dan makna yang dilekatkan masyarakat terhadapnya. *catatan tambahan: saya belum menemukan jawaban, kenapa bangsa Indonesia memilih "pustaka" untuk menerjemahkan "libri" sebagai kata dasar perpustakaan; dugaan saya, ini adalah kata buatan Belanda untuk meneruskan konsep mereka tentang Balai Pustaka*
- Perpustakaan-perpustakaan yang pertama hadir di muka bumi (baik di wilayah Laut Tengah, Timur Tengah, Parsi, Cina, India, Amerika Latin) merupakan konsekuensi logis dari pemaknaan dan fungsi buku di atas, dan dari kedua pemaknaan itulah muncul kompleksitas pertama yang tinggal sampai kini, yaitu: masyarakat memerlukan tempat menyimpan dan menemukan buku-buku penting, tetapi pada saat yang sama menghadapi persolan mendasar, yaitu "buku apa yang boleh/perlu disimpan, dan buku apa yang tak perlu disimpan". Persoalan ini seolah-olah persoalan sepele dan teknis (sekarang disebut seleksi buku, atau pengembangan koleksi), padahal di dalamnya mengandung hal yang amat mendasar dan yang dimulai dari potensi pertentangan fungsi buku yang diuraikan di atas. Sejak buku dan perpustakaan menjadi bagian kehidupan manusia, sejak itu pulalah muncul perdebatan tentang manfaat buku, dan sejak itu pula buku dan perpustakaan menjadi ajang perebutan kekuasaan untuk mengendalikan apa yang disebut kebenaran, dan apa yang tidak-benar. Fenomena ini tak terjadi dalam Kearsipan, sebab arsip memiliki fungsi yang lebih spesifik daripada buku, yaitu untuk keperluan administratif.
- Sejarah kuna, sejarah klasik, maupun sejarah kontemporer, penuh dengan catatan dan cerita mengenai pertentangan pendapat tentang buku dan perpustakaan, khususnya dari segi seleksi dan penyimpanan. Sebelum ada persoalan tentang "temu kembali", terlebih dahulu ada persoalan seleksi. Persoalan ini terus ada sampai sekarang, dan inilah yang melahirkan profesi pustakawan, dan akhirnya menjadi Kepustakawanan (prinsip, etika, profesionalisme, yang berkaitan dengan pustakawan). Kompleksitas persoalan buku dan perpustakaan "meledak" ketika manusia menemukan teknologi cetak (di Jerman, Korea, Cina). Buku dalam makna aslinya (wahana agama & lmu-pengetahuan) menjadi semakin penting dan potensial sebagai wahana pertentangan antar agama, antar ilmu, dan antara agama dan ilmu. Keadaan menjadi semakin rumit, karena muncul kekuasaan yang datang bukan dari agama maupun bukan dari ilmu, yaitu kekuasaan politik. Sementara, jenis wahana juga berkembang ketika muncul suratkabar, lalu majalah, lalu foto, lalu radio, lalu film, lalu televisi (maaf kalau urut-urutannya nggak bener). Kaum agama pada awalnya adalah satu-satunya penentu koleksi perpustakaan. Ada banyak bukti, sensor adalah kegiatan pertama yang dilakukan di perpustakaan. Pustakawan pada awalnya sama dengan penyiar agama dan ilmuwan: mereka berdualah yang menentukan apa yang perlu disimpan dan apa yang tidak.Belakangan, kerajaan pun ikut campur, dan setelah itu Pemerintahan moderen menjadikan perpustakaan sebagai institusi untuk mengendalikan kebenaran. Semua pihak ini menambah rumit persoalan perpustakaan, sejalan dengan semakin penting dan mendasarnya fungsi buku serta media lainnya dalam kehidupan sehari-hari. Kerumitan ini tak dialami arsip, karena sekali lagi: arsip lebih spesifik, digunakan khususnya untuk menjalankan administrasi yang tertib, walaupun tentu saja administrasi ini juga fundamental dalam kehidupan manusia (administrasi dapat bersifat bisnis, sosial, maupun politik).
- Dari keadaan yang rumit itu, profesi Pustakawan tumbuh dan besar dalam suasana penuh pertarungan pemikiran dan pengaruh. Di satu sisi, pustakawan dianggap penting karena mengelola material yang amat penting bagi kehidupan masyarakat, tetapi di sisi lain pustakawan juga dianggap harus menjadi pengikut (atau sub-ordinat) dari pihak yang menentukan kebenaran. Sampai sekarang, itulah dua titik ekstrim yang memengaruhi Kepustakawanan dan seringkali titik ekstrim yang kedualah yang akhirnya berlaku: Pustakawan tak boleh menentukan kebenaran, dia hanya boleh bekerja menata rak-rak buku dan membuat alat temu-kembali (termasuk yang berbantuan komputer); fungsi seleksinya pun diminimalisir dengan hanya melayani apa yang diperlukan oleh pihak lain. Kompleksitas profesi inilah yang akhirnya melahirkan ilmu, dan sekali lagi kedua titik ekstrim itu pun ikut memengaruhi perkembangan ilmu. Di masyarakat yang menghargai pustakawan, ilmunya berkembang menjadi ilmu yang secara kritis mempelajari persoalan-persoalan sosial-budaya yang berkaitan dengan buku dan kebenaran. Di masyarakat yang tak menghargai pustakawan, ilmunya berkembang menjadi ilmu teknik menata buku dan membuat serta mengelola alat temu-kembali. Sekali lagi, hal ini takdialami Kearsipan pada masa awal kelahiran profesinya. Seringkali di masyarakat-masyarakat yang memperhatikan dan mementingkan Kearsipan, persoalan arsip dilesapkan (diintegrasikan) dengan persoalan administrasi bisnis atau administrasi pemerintahan. Kajian-kajian ilmiah tentang arsip pun seringkali "tersembunyi" di dalam kajian-kajian administrasi dan organisasi.
- Ilmu Perpustakaan (sebelum menggunakan "dan Informasi") tumbuh menjadi ilmu yang berdiri sendiri di negeri-negeri yang pertamakali memiliki sistem perpustakaan umum yang meluas. Perlu kiranya diklarifikasi, bahwa "perpustakaan untuk umum" atau perpustakaan yang terbuka untuk umum (open to public), sudah ada sejak kelahiran agama-agama besar. Semua agama besar memiliki institusi yang menyediakan bacaan untuk masyarakat secara gratis. Tetapi, seperti yang saya uraikan di atas, isi atau koleksi dari perpustakaan-perpustakaanuntuk umum itu adalah syiar agama. Tak boleh ada koleksi selain itu. Sedangkan perpustakaan umum moderen (public libraries) lahir bersamaan dengan lahirnya pendidikan moderen dan pendidikan umum -atau yang dapat juga disebut "pendidikan sekuler", karena tidak berorientasi pada agama tertentu. Perpustakaan-perpustakaan jenis ini lahir di masyarakat yang menempatkan perkembangan pemikiran atau gagasan sebagai landasan penting bagi kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Pada umumnyamasyarakat-masyarakat seperti ini memiliki dua nilai yang juga sekuler", yakni kebebasan dalam berpikir (kini menjadi berkonotasi negatif, yaitu "liberal") dan pemerintahan yang dilandaskan pada perwakilan rakyat (kini lazim disebut "demokrasi"). Dalam masyarakat-masyarakat seperti ini maka makna dan fungsi buku serta perpustakaan menjadi amat berbeda dari makna dan fungsi sebelumnya. Buku (serta segala bentuk wahana lainnya) menjadi bagian tak terpisahkan dari liberalisasi pemikiran dan demokratisasi penyelenggaraan pemerintahan. Perpustakaan pun akhirnya menjadi perpanjangan (extension) dari fungsi dan makna buku tersebut. Ilmu Perpustakaan (sebelum menggunakan "dan Informasi") pun akhirnya dianggap perlu ada, sebab persoalan yang berkaitan dengan pemikiran bebas dan demokrasi melalui buku dan perpustakaan itu juga semakin memerlukan solusi. Adalah keliru jika kita beranggapan bahwa Ilmu Perpustakaan lahir karena persoalan teknis simpan dan temu kembali. Persoalan teknis ini muncul sebagai konsekuensi (bukan penyebab) dari persoalan sosial-budaya (dan politik!) yang disebabkan liberalisasi dan demokratisasi perpustakaan.
- Berdasarkan butir 6 itu pulalah, perpustakaan sebagai institusi sosial menjadi simbol (atau ikon) peradaban sekuler, liberal, demokratis mewakili SEMUA jenis institusi yang di dalamnya mengandung unsur teks, seleksi, simpan, temu-kembali, pemanfaatannya, dan sebagainya. Kemunculan Ilmu Perpustakaan, baik yang dimulai oleh sekolah-sekolah "amatir" di Eropa Barat, maupun oleh universitas di Amerika Serikat pada abad XIX, merupakan ilmu yang dianggap dapat mewakili semua kompleksitas isu yang menyangkut "wadah yang mengandung teks berupa pernyataan yang mewakili maksud, pemikiran, gagasan, ataurealita tertentu" - tentunya dengan 2 syarat utama: (1) wadah itu akan diseleksi, sebelum disimpan, dibuatkan alat temu-kembali, dimanfaatkan, dilestarikan dan sebagainya; (2) wadah itu akan dilibatkan dalam interaksi sosial yang bertujuan mengembangkan pe ngetahuan bersama di sebuah masyarakat. Kita pun dapat kembali ke definisi Perpustakaan sebagaimana yang saya usulkan beberapa posting yang lalu, yaitu: "institusi sosial-budaya yang memastikan perkembangan dan pemanfaatan pengetahuan secara bersama melalui praktik-sosial menyeleksi, mengolah, menyimpan, dan menyediakan pengetahuan"
Dengan
demikian, mudah-mudahan kini jelas, mengapa "dan Kearsipan" tak
muncul dalam Ip&I. Penyebabnya cukup sederhana: arsip (dan kemudian
juga "dokumen") serta segala bentuk wadah lainnya dianggaptermasuk
dalam institusi sosial-budaya yang disebut Perpustakaan. Institusi sosial ini
tak menggunakan kata "buku" atau "book" karena memang bukan
buku sebagai wadah itulah yang menjadi isu, melainkanfenomena sosial-budaya
yang menyertainya. Dari penjelasan di atas juga kita dapat melihat bahwa sebagai
wadah, maka tak ada perbedaan antara buku, arsip, dokumen, dan berkas komputer.
Jika wadah-wadah ini akan disimpan dan ditemukan-kembali, perlakuannya pun akan
sama. Semuanya perlu dicatat, dibuatkan deskripsi; semuanya perlu dikategorikan
atau dikelas (classified). Dalam sistem penyimpanan (storage), semua wadah itu
akan diwakili secara sederhana sehingga dapat mudah ditemukan kembali
(retrieve). Tak peduli, apa pun wadah itu namanya, sistem simpan dan
temu-kembalinya akan sama.
Maka
itulah, kita menggunakan kata PUSTAKA, bukan buku, bukan arsip, bukan dokumen.
Maka
itulah, tak ada kata "dan Kearsipan" di dalam IP&I.
Tetapi,
tentu saja, jawaban yang begini panjang juga belum tuntas! Saya perlu mengurai
lebih lanjut apa sebenarnya yang dipelajari jika kita memakai istilah Ilmu
Kearsipan. Saya akan sampaikan di postingberikutnya.
Cheers,
Putu
Laxman Pendit
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar